Translate

Tuesday 11 June 2013

Perempuan

Budaya Cewek

Oleh Nuraini Juliastuti
Angela McRobbie (1995) mengatakan bahwa tampaknya selama ini remaja perempuan hanya bisa ditemukan dalam catatan kaki atau sebagai referensi tambahan saja. Suatu kategori di antara 'remaja' dan 'bisnis-bisnis lainnya'. Remaja perempuan tampaknya tidak benar-benar berada di sana. Pernyataan McRobbie ini mewakili kritik kaum feminis terhadap analisis-analisis subkultur yang selama ini ada. Analisis subkultur dianggap tidak memberi perhatian dan tempat yang layak kepada remaja perempuan.
Bill Osgerby (1998) mencatat bahwa masa sebelum Perang Dunia II, pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, kategori 'youth' dan 'adolescent' secara umum mempunyai konotasi dan imej laki-laki. Pada masa ini, remaja perempuan cenderung digolongkan sebagai kelompok yang 'classless' dan disembunyikan dari sejarah. Tapi pada masa setelah Perang Dunia II, 'teenager' bermakna remaja perempuan dan remaja laki-laki. Skala perubahan remaja perempuan pada kedua masa ini tentunya membutuhkan area peliputan yang lebih luas. 
Di Indonesia sendiri, terlebih dulu kita mengenal remaja perempuan sebagai kelompok remaja yang ikut berpartisipasi membantu perjuangan merebut kemerdekaan. Mereka ikut membantu merawat para prajurit laki-laki yang terluka, atau membantu memasak keperluan logistik para prajurit di dapur umum. Gambaran remaja perempuan berpakaian putih-putih dengan simbol palang merah di lengan, yang sedang berjongkok membalut luka prajurit, sangat sering kita jumpai dalam drama-drama di panggung peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia, juga dalam foto-foto atau gambar di buku-buku sejarah.
McRobbie kemudian mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan pokok yang bisa dijadikan panduan atau penuntun dalam melakukan penelitian terhadap subkultur remaja perempuan, yaitu: 1) apakah mereka 'hadir', namun 'tidak nampak'?, 2) jika mereka memang hadir/eksis, apakah peranan mereka lebih marjinal daripada laki-laki, atau apakah mereka memainkan peran yang berbeda?, 3) apakah posisi remaja perempuan menunjukkan pilihan subkultural, atau apakah peranan mereka merefleksikan subordinasi umum perempuan?, 4) apakah ada cara-cara berbeda dan khusus yang dijalankan remaja perempuan dalam mengorganisir hidupnya?
Remaja perempuan sebenarnya eksis dan hadir dalam kehidupan subkultur. Kita bisa menemukan remaja perempuan dalam kerumunan penonton konser musik rock, kita juga bisa menemukan remaja-remaja perempuan ikut bergabung dalam kelompok-kelompok punk di jalan-jalan. Tetapi seringkali keterlibatan perempuan dalam subkultur dikaitkan dengan kemerosotan moral dan degradasi personal. Media massa juga kerap memandang remaja perempuan dalam kelompok ini sebagai sesuatu yang sensasional semata.
Fakta lain menunjukkan bahwa jika remaja perempuan dan laki-laki sama-sama tergabung dalam kelas pekerja, gaji yang diterima kadang-kadang tidak sama. Atau meskipun penghasilan mereka sama, gaya konsumsi remaja perempuan dan remaja laki-laki pasti akan berbeda karena aktivitas bersenang-senang yang mereka lakukan juga berbeda. Atau mungkin aktivitas bersenang-senang yang dilakukan remaja laki-laki dan remaja perempuan jaman sekarang tidak terlalu menunjukkan perbedaan yang menyolok. Kita akan dengan mudah menemukan remaja perempuan sama banyaknya dengan remaja laki-laki dalam kafe atau music club. Tapi tetap saja remaja perempuan harus 'berhati-hati supaya tidak mendapat bahaya' di tempat-tempat seperti itu. Bahaya ini biasanya berupa serangan seksual dari remaja laki-laki atau laki-laki dari kelompok umur yang lebih tua. Sikap khawatir, ketakutan, dan hati-hati terhadap bahaya-bahaya ini biasanya didukung oleh para orang tua. Tidak heran jika remaja-remaja perempuan diharapkan untuk lebih banyak berada di dalam rumah atau dalam kamar. Intinya, mereka didukung untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih berpusat dalam rumah. Rumah teman-teman perempuan dan kamar tidur akhirnya menjadi situs-situs kunci remaja perempuan.
Perkembangan dalam dunia konsumerisme kemudian menunjukkan dimulainya boom berbagai macam produk yang khusus ditujukan untuk pasar remaja perempuan, mulai dari kosmetik, pakaian, dan berbagai macam pernik-perniknya. Hal-hal itu biasanya dipakai di rumah. Rumah teman dan kamar tidur kembali menemukan tempatnya. Jadi bisa dikatakan, remaja perempuan berpartisipasi dalam perkembangan dunia di luarnya, dan mereka mengkonsumsi itu semua di rumah, dalam tempat tidur mereka.
Remaja perempuan juga cenderung tidak dicurigai jika mempunyai teman-teman dekat perempuan. Maka tidak heran jika sejak jaman dulu sampai sekarang, pemandangan seorang remaja perempuan yang berada di tengah kerumunan kecil kelompok/gang perempuannya selalu dengan mudah bisa kita temui. Kehidupan kelompok remaja perempuan dipopulerkan kembali oleh Cinta, Maura, Milly, Alya dan Karmen dalam film Ada Apa Dengan Cinta. Para remaja perempuan biasanya memperoleh eksklusivitas sosial, ruang-ruang privat dan tidak bisa diakses, ruang-ruang khusus yang berjarak dan, untuk sementara, bebas dari tekanan orang tua, guru-guru di sekolah, juga teman-teman laki-laki.
Kehadiran majalah-majalah remaja perempuan juga harus diperhitungkan jika kita ingin membuat analisa terhadap para remaja perempuan ini. Mulai 1980-an akhir dan 1990-an, muncul kelompok-kelompok band laki-laki yang ditampilkan dengan daya tarik seksual yang lebih menonjol. Maskulinitas mulai ditampilkan sebagai objek sama menarik dan menggairahkannya dengan feminitas. Dan majalah-majalah remaja perempuan yang hadir di sini ikut mendukung dengan memberikan liputan dan perhatian yang besar kepada mereka, sehingga bisa dikatakan posisi remaja perempuan sekarang jadi terbalik. Mereka yang biasanya berposisi sebagai objek, ketika berhadapan dengan maskulinitas kelompok-kelompok band laki-laki ini, berbalik posisi menjadi si penglihat.
Pada akhir 1990-an, di Indonesia muncul kelompok majalah remaja perempuan yang berposisi sebagai edisi bahasa Indonesia dari majalah remaja perempuan yang terbit di luar negeri seperti Cosmo Girl dan Seventeen. Kehadiran majalah-majalah ini ikut meramaikan dunia terbitan remaja Indonesia, berdampingan dengan media-media lokal seperti Gadis dan Kawanku. Majalah-majalah ini ikut mempopulerkan istilah 'girl power' di Indonesia. Girl Power sendiri merupakan istilah yang dimunculkan oleh kelompok musik asal Inggris, Spice Girls, tahun 1996 silam.
Mungkin kita bisa mengatakan bahwa hal-hal seperti ini terlalu kecil bagi remaja perempuan, tetapi menurut saya, media-media remaja perempuan, juga pemakaian istilah-istilah semacam ini, berusaha menegosiasikan ruang-ruang personal, pribadi, juga ruang-ruang aktivitas bersenang-senang mereka sehari-hari, diolah kembali, sehingga bisa membuka peluang perlawanan dan resistensi.
Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003

Glosari Budaya Cewek

Oleh Annisa Muharammi
Bete: boring top, bad temprament, bosan total, butuh tatih-tayang (butuh kasih sayang). Bete paling sering digunakan untuk menunjuk suasana hati yang sedang tidak menyenangkan, malas melakukan sesuatu, dan bosan. Penyebab bete yang paling populer bagi cewek adalah diputus pacar, ulangan atau ujian tidak sukses, menunggu terlalu lama, batal nge-date (janjian) bareng teman atau pacar, uang saku dipotong, dan dimarahi orang tua. Mengurung diri di kamar, belanja, ngemil (memakan  makanan ringan), atau jalan-jalan bareng teman adalah cara buat mengusir bete.
Curhat: ‘curahan hati’, berbicara untuk “berbagi perasaan” dengan teman dekat. Curhat bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja, seperti di kamar, di kelas, di mall, di tempat nongkrong, toilet, bahkan curhat untuk anak SMU bisa dilakukan saat upacara bendera. Soal yang dicurhatkan bisa soal pacaran, orangtua, teman, tempat nongkrong yang baru, sampai masalah duit. Ada cewek yang menghabiskan waktu seharian untuk curhat. Curhat bisa menimbulkan perasaan bebas, lega, menambah semangat, tapi sekaligus bisa juga menambah persoalan.
Dandan: aktivitas sehari-hari untuk mempercantik diri. Untuk cewek yang biasa dandan, dandanan yang wajar itu cukup bedak dan lipstik. Tapi ada cewek yang tidak biasa dan tidak bisa dandan sama sekali. Dandan juga termasuk memadukan pakaian, tas dan sepatu/sandal yang akan dipakai. Untuk kebanyakan cewek, me-mix dan me-match-kan pakaian, sepatu, dan tas adalah hal yang sangat penting.
Gaul: tidak ketinggalan zaman, trendi. Ukuran kegaulan adalah pengetahun tentang perkembangan musik dan fesyen, rambut berwarna, berani tampil beda, kendaraan yang dimodifikasi dan diberi beragam asesoris, telepon genggam model paling baru, dan yang terpenting tidak lemot (‘lemah otak’) dan tulalit (“nggak nyambung”) kalau ngobrol.
Gebetan: seseorang yang sedang ditaksir oleh cewek (juga disebut kecengan, dari kata ‘ngeceng’). Gebetan jumlahnya bisa lebih dari satu. Bagi cewek, digebet lebih dari satu cowok merupakan suatu kebanggaan. Aktivitas mencari gebetan mencari gebetan di sebut ngegebet.
Inner Beauty: “cantik batin”. Kecantikan tubuh akan dianggap lebih berarti jika disertai kecantikan batin. Menurut majalah Gadis meskipun cantik layaknya Dian Sastrowardoyo (bintang Ada Apa dengan Cinta?), seorang cewek tetap terlihat biasa kalau tidak didukung oleh “kecantikan dari hati”. Yang disebut “cantik hati adalah cerdas, ramah, murah senyum, punya banyak teman, dan rendah hati. Banyak cewek yakin bahwa kekuatan inner beauty juga dapat membuat cowok “bertekuk lutut”.
Jaim: ‘jaga image’. Suatu cara untuk mengubah diri demi kepentingan tertentu. Jaim bersifat sementara dan dilakukan untuk mengelabui orang lain. Misalnya saja ketika seorang cewek ngegebet seorang cowok, ia pasti men-jaim-kan diri di depan cowok gebetannya karena tidak ingin terlihat agresif, padahal si cewek sebenarnya sangat menyukai si cowok. Si cewek misalnya, tidak ingin menunjukkan bahwa ia tidak suka tertawa keras, tidak suka makan banyak, dan yang paling penting si cewek tidak mau terlalu menunjukkan bahwa ia menyukai si cowok. Di depan si cowok ia harus tampak cool dan jangan sampai menyampaikan rasa sukanya lebih dulu. Tetapi jika sudah menjadi pacar—artinya: tujuannya sudah tercapai—ia tidak lagi jaim. Jaim bahkan harus dihindari, karena dianggap sebagai kemunafikan.
Ngeceng: pamer. Misalnya pamer baju baru, pamer mobil baru bahkan pacar baru pun dipamerkan. Ngeceng lebih sering dilakukan cewek-cewek di mall atau tempat-tempat yang “bertaburan cowok cakep”. Ngeceng biasanya dilakukan rame-rame. Jika beruntung ngeceng dapat berbuah kenalan seorang atau komplotan cowok yang akhirnya bisa dijadikan gebetan bahkan pacar. 
Ngedugem: dari kata dugem, ‘dunia gemerlap’. Ngedugem adalah aktivitas bersenang-senang yang biasanya dilakukan malam hari di kafe atau diskotik. Yang dilakukan ketika ngedugem biasanya menyanyi karaoke,  jojing (joget-joget di diskotik), atau sekedar minum-minum. Cewek-cewek biasanya berpakaian lebih berani dan tebuka saat ngedugem. Ngedugem biasanya dilakukan pada akhir pekan. Kadang-kadang cewek dilarang ngedugem oleh orang tua atau pacarnya, karena ngedugem identik dengan “cewek nakal”.
Nongkrong: aktivitas berkumpul dengan kelompok sepermainan (geng) atau pacar di suatu tempat yang biasanya sudah ditentukan. Cewek biasanya memilih nongkrong di kafe, mall,  tempat les, dsb. Ada juga yang membuat tempat nongkrong sendiri (semacam markas tetap sebuah geng). Nongkrong dianggap lebih gaya dan bergengsi kalau mambawa mobil. Nongkrong tidak terlalu butuh banyak biaya seperti nyalon. Biasanya cewek-cewek lebih memilih nongkrong dengan teman-teman se-geng dibanding dengan cowoknya. Nongkrong biasanya juga diikuti dengan ngerumpi (bergosip).
Nyalon: dari kata ‘salon’, tempat “memperbaiki penampilan”. Yang paling sering dilakukan cewek ketika nyalon adalah creambath (memberi krim vitamin pada rambut biar rambutr jadi sehat), facial (salah satu jalan untuk membuat kulit muka lebih halus, putih dan bebas jerawat), menicure-pedicure (perawatan kaki dan tangan, biasa disingkat ‘meni-pedi’), juga meluruskan dan mewarnai rambut dengan warna-warna menyala (oranye, kuning, merah, hijau, coklat), ada juga luluran, mandi sauna, sampai pijat akupuntur untuk menguruskan badan. Untuk cewek-cewek berduit nyalon adalah rutinitas. Aktivitas nyalon sering dijadikan ajang ngeceng, gaul, dan unjuk diri bagi cewek-cewek.
Prom Night: pesta perpisahan. Acara ini dijadikan ajang untuk menunjukkan diri (kecantikan, kekayaan, pacar baru, dsb.). Bagi yang belum punya cowok, prom night merupakan saat-saat yang mendebarkan untuk dilirik cowok. Majalah-majalah remaja pun sampai menyiapkan edisi prom night yang berisi tips-tips sebelum dan ketika prom night berlangsung. Biasanya ada pemilihan King & Queen of  Prom Night. Itulah yang membuat cewek-cewek ingin tampil beda.
Singkatan
HTM: Hubungan tanpa menikah.
HTS: Hubungan tanpa status.
HBL: Haus belaian laki-laki.
HBW: Haus belaian wanita.
PTS: Putus (pacaran).
TTM: Teman tapi mesra
Setia: Selingkuh tiada akhir.
SMS: Sarana menuju selingkuh.
Cokiber: Cowok kita bersama.
Jigun: Jiwa guncang.
DDA: Debar-debar asmara.
MBA: Married by accident.
CPK: Cipokan (ciuman).
FK: French Kiss
ML: Making Love (atau ‘Mama Lemon')
Contoh dalam kalimat: Gue suka ma cowok, dia sahabat gue sendiri, namanya Luki. Gue suka ama dia tapi gue gak tau apakah dia juga suka ama gue. Tapi kayaknya sih dari sikap-sikap dia ke gue dia juga suka ama gue. Kata temen2 gue kita TTM/HTS gitu deh. Iya juga kali ya. Gue sangat menikmati saat-saat kayak gini. Akhir-akhir ini gue sering banget speechless en DDA gitu. Seminggu yang lalu, tim cheerleader gue pentas. Tanpa gue sangka-sangka ternyata dia  dateng buat ngasih support gitu ke gue. Gue kan jadi Jigun pas pentas. Kayaknya gue ama dia sama2 HBL n HBW gitu deh. Temen2 cheers gue juga pada suka ama dia, soalnya selain anaknya luncang (lucu), dia juga ramah banget sama semua orang. Saking baeknya dia ama temen2 gue, gue ama anak2 punya kesepakatan buat jadiin dia cokiber. Dan dia keliatannya gak keberatan gitu dengan istilah itu. Sukur deh. Gue bener-bener lagi berbunga-bunga sekarang, karena kemaren pas ulangtaun gue, kita cpk-cpk gitu trus ya u know lah..abis gitu mama lemon deh.. Hehehe..
Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003

Arus Mimpi Perkotaan di Negara Bekas Jajahan

Oleh Primanto Nugroho

Karier, gaji, dan masa depan. Bagaimanakah di tengah arus krisis yang menyapu isi 1 negeri ini dapat diterima akal maupun budi dan bahasa tentang adanya suatu karier dengan gaji yang dapat menghidupi masa depan ? Kisah seperti apakah yang dapat disusun untuk menyampaikan kabar perasaan orang yang dari saat ke saat terus terhimpit dalam hidup kesehariannya namun sekaligus juga dipacu untuk mau percaya bahwa karier dan masa depan ada dalam genggaman ?
Segenap cara bercerita berikut konseptualisasi ide yang di masa sebelum krisis menerjang dapat diyakini untuk menentramkan hidup bermasyarakat kini rontok; baik pelembagaan bernegara, berbangsa, berkeluarga, beragama, bersekolah, berkesenian,... amblas disapu angin, hilang otoritasnya.  Maka yang tinggal adalah igauan, gossip, ceracauan, ramalan, dan bisik-bisik. Dalam arus  itulah mimpi mendapat tempatnya. Inilah cerita tentang mimpi.
Yang Diimpikan
Tersebutlah di selembar halaman majalah remaja pria tahun 2001 bahwa ada 3 cara untuk mengawali sukses sebagai sutradara. Pertama, masuk sekolah film. Kedua, langsung jadi sutradara. Atau terakhir, meniti karir dari awal. Untuk yang paling bontot ini ada langkahnya, sejak dari asisten sutradara, penulis skenario, atau director of photography.
Kiat sukses berkarir begituan dapat dengan gampang dijumpai di bacaan-bacaan untuk orang muda yang diterbitkan dari Jakarta, setidaknya sejak dekade 1990-an yang lalu.
Bayangan akan sukses itu juga dapat dilacak dari sepenggal kisah debut seorang penyanyi  berusia 15 tahun yang dalam sebuah edisi majalah remaja putri di bulan Pebruari 2002 diceritakan “baru aja ngerilis album terbarunya” dan berujar, ”Nyanyi itu adalah sesuatu yang paling berarti dalam hidupku.....Dari kecil, aku memang udah pengen banget jadi penyanyi. Percaya nggak, waktu masih kelas 1 SD aku pengen banget kayak Eno Lerian, bisa masuk TV, dan nyanyi di depan orang.....Mmm, insya Allah kalau aku dikasih kesempatan aku pengen banget belajar di London, soalnya kan sekolah seni di London itu terkenal bagus banget”.
Orang muda lain dipaparkan dalam  liputan utama tentang “pasar remaja” oleh sebuah majalah bisnis edisi akhir tahun 2000 sebagai seorang pelajar kelas III SMU dari jurusan IPA yang termasuk 10 besar di kelasnya. Diceritakan, sejak kecil cowok Jakarta kelahiran tahun 1983 yang –konon- punya IQ 146 ini menyukai semua pelajaran berhitung. Maka, ia pun bertekad masuk kelas IPA saat SMU. Selanjutnya selepas sekolah menengah nanti ia ingin sekali kuliah di Fakultas Teknik Kimia ITB. Untuk itu doi rela mengurangi kegiatan keluar rumah biar bisa drilling pelajaran buat persiapan EBTA dan UMPTN di waktu favoritnya untuk belajar ......sejak jam 3 pagi !
Pemandangan yang tak jauh berbeda terjadi di kalangan yang disebut ‘profesional muda’. Idam-idaman kaum berdasi ini ternyata adalah “perusahaan yang menyediakan jenjang karier jelas, gaji tinggi, memberi kesempatan belajar dan dikelola secara profesional”. Setidaknya begitulah yang dilaporkan oleh sebuah majalah ekonomi dari Jakarta pada edisi Oktober tahun 2001. Ada 12 jago di puncak idam-idaman itu, terdiri dari 5 BUMN, 5 perusahaan multinasional, dan 2 swasta nasional:
“Karier jelas, Gaji Besar, Masa Depan OK. (1) PT Telkom; (2) Pertamina; (3) PT. Caltex Indonesia; (4) Bank BNI; (5) PT. Astra International; (6) Citibank (Indonesia); (7) PT Freeport Indonesia; (8) PT Unilever Indonesia; (9) PT Indosat; (10) PT Bakrie & Brothers; (11) PT. Coca Cola Indonesia; (12) PT PLN”.
Bagaimanakah ragam profesi yang tak terbayangkan bahkan oleh kaum kohor kelahiran 1950-an itu dapat digambarkan suasana ‘perasaan’nya ?
Ia erat dengan ‘sekolah ke luar negeri’, atau ‘fasih berbahasa asing’, serta keakraban dengan perangkat komputasi. Buah teknologi, dari telepon genggam sampai kamera, diterima dan digauli sebagai perangkat netral yang seolah-olah lepas dari gelombang kritik teknokrasi di Eropa dan Amrik yang sudah memuncak pada tahun 1968.
Dalam arus yang seolah-olah netral tak bergejolak itulah film dan sandiwara menjadi ibarat paling gamblang tentang mimpi massal. Pemain film (kalau sebelum 1998 dikenal dengan istilah ‘insan perfilman’. Wuih …..insan ! ) adalah hal penting dalam jagad mimpi. Siapa bilang bintang film berakting di depan kamera ? Justru di depan kamera itulah praktek hidup kesehariannya terjadi. Sedangkan ketika berada di rumah, di jalan, atau di mall si bintang itu sedang terus-menerus mencocokkan diri dengan yang dibayangkan dalam arus massal tentang suatu jagad ideal seorang public figure. Sejak dari menata tebal daging yang melekat di tulang-belulang tubuhnya sampai ke tentang betapa pentingnya siraman nilai agama untuk kehidupan rohaninya, semua dirancang dengan sepenuh perasaan. Keseriusan si bintang dalam mempersiapkan diri untuk tampil dalam relasi sosial tak kalah keras dengan  keseriusan si pelajar kelas III SMU ber-IQ 146 di atas yang sampai bangun jam 3 pagi untuk drilling agar bisa masuk ITB ! Dengan sepenuh perasaan entah itu drilling agar menjadi orang ITB, ataukah agar bisa menjadi orang  Telkom, orang Freeport, atau  dengan sekolah menyanyi di London untuk berkarier di dunia bintang penyanyi, maupun berkarier di jalur teknologi informasi, desain pakaian, sampai aktivis LSM  dst. dilakukan. Rancangan hidup dibikin dengan nalar perasaan. Bahkan kerja intelejensi pun tak lagi melulu berurusan dengan intellegence qoutient (alias IQ) melainkan sudah dengan nalar perasaan (yang sama sekali tak terbendung lagi dengan dikurung oleh label emotional quotient ataupun spiritual quotient).
Dan panggung sandiwara?
Masih bisakah dibedakan lagi dengan gampang naskah-naskah dan pementasan Teater Koma, Teater Gandrik, atau Teater Garasi dengan  gejolak hidup berpolitik yang terjadi sehari-hari di luar ruang panggung sandiwara ? Politik menjadi panggung sandiwara, sementara sandiwara dilakoni sebagai politik mempertaruhkan makna hidup.
Yang Bermimpi
Tak disangsikan lagi bahwa 1 lapis warga Republik Indonesia dari kohor kelahiran paska 1965 telah beranak-pinak sebagai ‘keluarga muda’.  Anak-anak dari kalangan inilah yang lahir sejak dekade 1980-an hingga 1 dasawarsa sesudahnya disapih selaku warga negeri mimpi dan sekaligus dihimpit dalam putaran roda ekonomi yang digerakkan oleh ‘hukum siluman’. Segenap imajinasi yang hidup dalam bawah sadar kolektifnya ketika menjadi bocah seperti dipicu saat mereka masuk ke alam remaja.
Dekade 1990-an adalah masa puncak pembusukan seluruh sendi bermasyarakat di Republik Indonesia. Segenap mimpi tentang ‘pemurnian praktek dasar negara dan konstitusi’ maupun tentang fase ‘tinggal landas’ yang diumbar sejak 20-an tahun sebelumnya menghadapi jalan buntu. Kolaps terjadi pada bulan Mei 1998, dan tidak cukup kuat ada pertanda bahwa struktur pembusukan di tingkat negara maupun bangsa itu menemukan titik terangnya, hingga hari ini.
Paradoks paling fatal justru terjadi pada titik yang paling dipicu habis-habisan di seantero kehidupan negeri yakni hasrat untuk menjadi orang modern. Hasrat beginilah yang menjadi inti suatu ‘kultur kota’. Menjadi modern dengan seluruh atribut identitasnya pada kurun antara 1970 hingga 30 tahunan sesudahnya berarti menemukan diri sendiri berada dalam lingkungan yang penuh dengan impian akan rasa maju, bangga dengan kuantifikasi numerik, laju pertumbuhan, prestasi.
Wujud paradoks itu terus terjadi hingga kini tanpa tanda berhenti. Umpama, selalu diyakin-yakinkan betapa dengan banjir peralatan komunikasi bernama telepon dan komputer maka kesenjangan informasi bakal sirna. Namun yang terjadi justru banjir bandang perangkat komunikasi itu tak berkaitan sama sekali dengan keberadaan informasi, karena jalur komunikasi secanggih apapun malah menjadi ajang mengedarkan gossip. Manakala dimasukkan ke media massa maka yang menggerakkan pun tetap hukum besi dunia industri. Informasi dikalahkan oleh kalkulasi laba perolehan iklan.
Bersamaan dengan dikosongkannya informasi dari tubuh masyarakat itu, terjadi kebiadaban tanpa darah melalui pelembagaan sekolah. Jutaan anak sekolah di seluruh pelosok negeri seperti masuk ke dalam mesin cuci raksasa untuk dibina kesadaran kolektifnya. Otonomi masyarakat setempat untuk melakukan pendidikan diambil alih oleh tangan panjang birokrasi persekolahan. Secara kognitif para pelajar itu dipenuhi hapalan-hapalan pengetahuan. Sementara pada saat yang sama nalurinya untuk berimajinasi dipancung menjadi paket-paket lomba dan kejuaraan.
Dua poros pengosongan makna inilah yang menyapih orang muda yang benaknya kini penuh dengan mimpi untuk menjadi web-designer, excecutive di MNC dan BUMN, artis film yang juga sekolah filsafat,…
Ruang hampa inilah yang tidak terjadi ketika Tirtoadisuryo, Tjiptomangunkusumo, maupun Siti Soendari pada perempat pertama abad 20 sebagai orang muda semasa menggerakkan masyarakat melalui badan-badan ekonomi, dengan pendampingan legal, plus memproduksi informasi sendiri melalui media semacam Medan Prijaji. Pada jaman bergerak itu simbol modernisasi ditangkap dan dibalikkan untuk melakukan counter atas birokratisasi oleh gubernemen Hindia Belanda.
Kuasa Mimpi
Pertama, tentang mimpi. Dan mimpi pun yang terjadi secara massal.
Ia sungguh-sungguh menembus batas. Entah batas warna kulit, entah berasal dari Jakarta Pusat atau Digul, entah kendaraannya saban hari angkudes atau sedan pribadi, entah cowok, cewek, atau jiwa cowok dalam tubuh cewek dan kebalikannya, ….. semua sekat itu diterabas. Semua berpartisipasi dalam menyusun suatu mimpi besar. Berprestasi. Berkarier. Menjadi juara, pemenang, yang terbaik, yang tercepat aksesnya, yang paling praktis,…
Otak dan jiwa jadi sangat sibuk, sementara tubuh jarang bergerak. Semakin aktif seseorang dalam dunia mimpi, semakin tubuhnya bergerak lepas dari aktivitas batinnya. Acapkali terjadi imajinasi melesat lebih cepat ketimbang gerak dengkul. Bahasa ungkapnya secara lisan menjadi kedodoran. Yang diucapkan melalui bibir menjadi terpisah lepas dari yang mengalir deras dalam batin orang. Bahkan kosakata yang tersedia dalam bahasa yang diresmikan oleh pusat pembinaan bahasa pun menjadi tidak memadai lagi. Hiduplah   plesetan di Jogja, walikan dari Malang, bahasa prokem, slang, dan yang dimediasi habis-habisan saban detik melalui televisi adalah bahasa Jakarta.
Hal kedua, bahkan untuk bermimpi pun butuh syarat.
Siapa saja yang berani bermimpi untuk masuk ke dalam pusaran arus pasar tenaga kerja ‘terdidik’ tak bisa lain berhadapan dengan tuntutan syarat. Dua syarat pokok masuk ke alam mimpi massal ini ialah akses kembar ke jalur manipulasi peralatan sektor jasa (ini namanya bisa sekolah, short-courselong distance learning, on the job training, sampai ke kursus dari kursus kepribadian sampai kursus bahasa) serta ke modal (bisa uang, bisa bakat bawaan, maupun relasi sosial). Tanpa akses, kewarganegaraan dalam jagad mimpi jadi cacat.
Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003

 

Anak  Kota  Punya  Gaya

Oleh Alia Swastika
Banyak orang percaya bahwa anak muda identik dengan aktivitas untuk mencari kesenangan. Anak muda selalu dikaitkan dengan waktu luang, kebebasan, dan semangat pemberontakan. Media massa dan industri menciptakan “kebutuhan” anak muda demi kepentingan pasar, yang dikampanyekan  sebagai cara bagi anak-anak muda untuk keluar dari identitas yang diinginkan oleh orang tua. Akhirnya budaya anak muda sangat identik dengan penampilan sebagai representasi identitas. Budaya anak muda adalah fesyen, musik dan pesta. Dan tentu, anak-anak muda di kota adalah kelompok yang memiliki akses paling terbuka ke sumber informasi. Mereka memungut informasi di mana saja, dari televisi, majalah, radio bahkan sobekan poster di pinggir jalan. Mereka punya kesempatan untuk memanfaatkan waktu luang di pusat-pusat perbelanjaan, tempat hiburan dan ruang-ruang publik yang memungkinkan mereka untuk melakukan interaksi dan pertukaran informasi.
Anak muda di kota, selalu punya cara untuk tampil beda. Meski tidak selalu orisinil, karena banyak mengadopsi gaya selebritis yang mereka lihat di majalah dan televisi, tapi anak kota selalu berusaha untuk terus memperbaharui penampilannya. Yang disebut penampilan, bukan saja apa yang melekat pada tubuh semata, melainkan juga bagaimana keseluruhan “potensi” dalam diri  memungkinkan mereka untuk menampilkan citra diri tertentu. Dan bahasa, dianggap salah satu hal penting yang akan memberikan ciri khusus pada anak kota. Cara, logat dan pilihan kata dalam berbicara, adalah salah satu dari usaha anak kota untuk membentuk citra tertentu melalui penampilannya. Maka mereka punya istilah “norak” atau “kampungan” untuk gaya-gaya tertentu, yang mereka anggap ingin tampak trendi, namun tidak pantas (dalam bahasa mereka: nggak matching). Istilah ini sekaligus menunjukkan bagaimana mereka memandang anak muda di wilayah bukan kota (untuk tidak menyebutnya desa) sebagai kelompok yang “lebih rendah” dibanding mereka.
Biyan, seorang perancang muda menyatakan bahwa semangat kebebasan, sikap cuek alias tidak terlalu peduli pada aturan formal, dan berani menjadi satu karakter khas yang selalu ditampilkan dalam gaya fesyen anak muda. Gaya anak muda tidak lagi mengacu pada perancang yang dulu legitimasinya sangat besar. Anak muda pasca ‘50-an dan ‘60-an masa-masa generasi baby boomers yang mulai menikmati kemakmuran setelah berakhirnya resesi pasca perang dunia- menciptakan modenya sendiri.
Kita bisa menelusurinya dari bagaimana anak muda dicitrakan di media dari masa ke masa, kemudian bagaimana citra itu merambah ke dalam kehidupan sehari-hari.  Dan menarik juga mencermati bagaimana media massa telah menciptakan satu ikon anak muda tertentu pada tiap jaman.
* * *
Di Awal ‘80-an, budaya remaja mulai marak di Indonesia setelah kemunculan tabloid dan majalah khusus remaja, terutama Hai dan Gadis. Tak lama setelahnya, sekitar pertengahan dekade, muncul tokoh Boy,  melalui film “Catatan Si Boy” garapan sutradara Nasri Cheppy. Tokoh Boy diperankan oleh Onky Alexander. Boy digambarkan sebagai anak kota dari kelas atas yang kaya raya, tampan, dandi (penampilannya rapi dan “berkelas”), jagoan (selalu menang kalau berkelahi dengan “musuhnya”), playboy dan  pintar. Saat itu, Onky memperkenalkan gaya celana jeans, kaos oblong yang kemudian dibalut kemeja yang tak dikancingkan. Rambutnya rapi, agak mengkilap (disebut gaya wet-look) karena minyak rambut. Boy juga identik dengan mobil mewah berwarna cerah, serta kaca mata hitam yang tak pernah ketinggalan saat ia ada di jalanan. Gaya Boy inilah yang disebut dengan gaya ‘80-an ala Indonesia. Karakter tokoh ceweknya  tak jauh beda dengan Boy; populer, cantik, berdandan modis, cewek baik-baik dan disukai banyak laki-laki. Mereka tampil dengan gaya ‘80-an yang kental dengan warna-warna cerah semacam kuning, merah atau oranye, celana model baggy (paha lebar dan menyempit di bagian bawah), memakai banyak aksesoris—kalung, gelang dan anting yang dipakai bersamaan—kemeja longgar yang terkadang ujungnya diikat serta sepatu olah raga yang santai. Pada saat itu, mulai dikenal juga kebiasaan mengecat rambut menjadi berwana kemerahan atau sedikit pirang.
Dalam film ini, anak kota masih bicara dengan bahasa Indonesia yang cukup formal, namun terkesan cukup santai. Mereka menyebut diri dengan kata “saya” dan menggunakan kata “kamu” untuk menyebut lawan bicaranya. Sebenarnya cara mereka bicara dalam film tak terlalu berbeda dengan generasi yang lebih dewasa. Kalimat seperti “Jadi, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” atau “Tunggu ya, nanti malam saya akan jemput kamu!” menjadi dialog yang biasa, yang mungkin akan terasa asing bila didengarkan oleh anak kota sekarang.
“Catatan si Boy” juga memberi kita gambaran bagaimana anak kota menghabiskan waktu luang: clubbing di tempat umum macam Ancol atau Blok M, atau  membuat pesta dengan breakdance di dalamnya.
* * * 
Setelah Boy, muncul tokoh Lupus di akhir ‘80-an dan awal ‘90-an. Tokoh ini adalah hasil rekaan Hilman, yang muncul pertama kali sebagai serial di majalah Hai. Lupus muncul sebagai tokoh yang sangat bertolak belakang dengan Boy. Kalau Boy berdandan rapi, Lupus cenderung slenge’an. Rambutnya agak gondrong, dan diberi ciri khas jambul, suka memakai celana jeans, kaos oblong dan kadang kemeja tak dikancingkan, serta sepatu kets. Lupus juga tampak berseberangan dengan Boy dari kelas sosial, ia “cuma” anak seorang pengusaha katering kecil-kecilan yang hidup sederhana. Kalau Boy digambarkan dengan mobil mewah, Lupus naik sepeda balap. Akhirnya Lupus muncul juga di layar lebar. Diperankan oleh Ryan Hidayat, ditemani Nike Ardila sebagai Popi (pacarnya) dan Firda Razak (sebagai Lulu, adiknya). Secara umum, gaya berpakaian Lupus dkk. dalam film ini tak jauh beda dengan era si Boy. Juga tentang kebiasaan mereka dalam melewatkan waktu luang.
Yang menarik adalah mulai munculnya bahasa slang dan prokem dalam buku dan film-film Lupus. Lupus juga sangat identik dengan remaja yang lucu dan konyol. Jadi jangan heran kalau isi buku ini penuh dengan humor dan lelucon. Kata “gua” untuk menyebut diri dan “elu” untuk lawan bicara mulai populer sebagai gaya baru di buku dan film. Mereka juga mulai menggunakan dialog sehari-hari remaja semacam “Jangan gitu dong!” atau “Lu jangan ke mana-mana, tunggu aja di sini, ntar gua balik kok!”.  Bahasa prokem anak muda juga dicomot dari kelompok-kelompok yang dianggap terpinggir dan kampungan, misalnya dialog golongan homoseksual atau dialog dari warga Betawi asli.
Seera dengan Lupus, muncul tokoh Olga yang mewakili remaja perempuan di masa itu. Boleh dibilang, ia versi cewek dari Lupus. Di sela-sela mereka, dalam masa yang sama, anak kota punya panutan lain. Namanya si Roy. Ia memberi alternatif bagi remaja pria, yang saat itu cenderung mengikuti gaya Boy atau Lupus. Roy, sangat bertolakbelakang dengan keduanya. Ia memberi gambaran tentang kegagahan yang lain dengan Boy, meskipun sama-sama digambarkan sebagai jagoan yang suka berkelahi. Roy digambarkan sebagai pendaki yang suka memakai tas ransel besar dan sepatu gunung. Baju flanel dan jaket tebal mulai dikenal saat itu.
* * *
Menjelang dan di awal abad ke-21, representasi anak kota Indonesia muncul dalam film-film independen. Kebanyakan film ini digarap oleh para sineas muda yang sangat “melek” trend terbaru. Dian Sastro, yang muncul pertama kali di film “Bintang Jatuh”, dan kemudian kembali melejit lewat “Ada Apa dengan Cinta”, jadi idola baru remaja. Gang ceweknya di “Ada Apa dengan Cinta”, memberi gambaran tentang gambaran mutakhir anak kota. Mereka berseragam putih abu-abu, dengan rok yang cukup pendek, dan kaos kaki yang hampir mencapai batas lutut. Atasannya menempel ketat di tubuh. Saat ini rambut panjang hitam lurus dan rambut pendek yang tak beraturan jadi “tampilan wajib”.
Secara bahasa era ini tak jauh beda dengan Lupus. Tapi makin banyak kata-kata dalam bahasa prokem yang digunakan. Kebanyakan kata-kata ini digunakan sebagai ungkapan kaget atau seruan. Misalnya, “Najong deh, gue!” yang berarti jijik, atau “Garing!” untuk merespon lelucon yang dianggap tidak lucu. Atau juga “Bete!” untuk menyebut keadaan yang tidak mengasikkan.        
Harus diakui, bahasa anak Jakarta lah yang selama ini mendominasi penggunaan bahasa lisan anak muda Indonesia. Bagaimana bahasa prokem Jakarta tersebut tersebar? Jawabannya mudah. Ada media massa—yang secara umum bisa dikatakan berpusat di Jakarta—yang membawa bahasa lisan ini ke seluruh pelosok melalui perangkat-perangkatnya. Menurut Dede Oetomo (1986) peran Jakarta sebagai ibukota, tempat orang-orang Indonesia yang memang atau dianggap paling berkuasa, paling cantik, paling kaya dan sebagainya berada, penting dalam menyebarkan bahasa Indonesia. Media dan perangkatnya—terutama televisi dan radio—telah membuat logat Jakarta menjadi logat yang seolah-olah paling keren dan paling enak didengar.  Di Indonesia, bukan hal yang aneh kalau kita mendengar radio-radio di daerah (bukan Jakarta) yang segmennya anak muda, penyiar-penyiarnya berbicara dengan dialek yang seragam. Seolah-olah, kalau tidak memakai gaya Jakarta, itu bukan gaya anak muda.
Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003

Perempuan dan Melodrama

Oleh Alia Swastika
Kegemaran remaja-remaja perempuan menonton film-film melodrama tentu saja bukan hal yang baru. Melodrama adalah salah satu hal yang sering dikaitkan dengan perempuan. Sering kali pula, identifikasi film-film melodrama dengan perempuan dilawankan dengan identifikasi film-film laga bagi kaum laki-laki.
Menurut Partington (1991) satu aspek yang menonjol dari melodrama sebagai sebuah film adalah maknanya yang terkait pada visualisasi drama melalui gaya, desain dan penyajian emosi yang estetis. Dengan demikian melodrama dibuat berdasarkan pengetahuan dan kompetensi yang dibangun secara spesisfik feminin dan konsumtif, sehingga memberi ruang bagi perempuan untuk menggali dan mengeksploitasi feminitas dengan cara-cara baru. Dengan memperhatikan pertimbangan tersebut, maka dalam kasus Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai melodrama adalah sinetron atau telenovela, juga tentu saja, yang sekarang mendapatkan penonton yang luas adalah, melodrama Asia.
Menurut Gledhill (1997), ketertarikan perempuan untuk menonton melodrama sesungguhnya bukan hal yang sungguh-sungguh murni datang dari  pihak perempuan itu sendiri, melainkan dikonstruksi oleh pihak pengelola media massa. Pada 1930-an, radio komersial dan perusahaan periklanan Amerika mulai memproduksi program-program fiksi yang ditujukan untuk menjangkau pasar perempuan yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Saat itu pihak pengelola dua industri besar media massa tersebut mencari format alternatif yang dirasakan lebih besar pengaruhnya terhadap khalayak dalam menerima pesan-pesan iklan. Kemudian para pembuat film-film melodrama mencari referensi tentang hal-hal yang disukai perempuan untuk ditampilkan dalam film tersebut. Ide untuk membuat serial fiksi yang panjang (dengan ceritanya yang berliku) datang dari majalah perempuan. Pada saat itu, banyak majalah perempuan sukses menyajikan serial fiksi tentang kisah cinta dan kehidupan personal perempuan. 
Sejak awal, film-film melodrama memang “dialamatkan” untuk segmen khalayak tertentu. Jika merunut sejarah awal kemunculan yang menyatakan bahwa para pembuat film melodrama mengalamatkan program ini bagi perempuan, artinya pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatannya, yaitu  produser, penulis  cerita, atau para pengiklan, memiliki bayangan tertentu tentang citra perempuan. Bagaimana mereka menilai dan memandang perempuan ini tentunya akan berpengaruh pada proses cerita dan citra dikonstruksi, caranya “mengatakan” sesuatu, atau caranya menarik perhatian perempuan.
Ada banyak hal yang membuat perempuan tertarik untuk menonton film melodrama. Dalam melodrama, cerita-cerita disajikan dalam kerangka besar yang sama; tentang cinta dan persoalan keluarga, dengan plot yang berliku-liku. Para tokoh dalam melodrama dianggap mewakili impian kaum perempuanterutama para ibu rumah tangga karena  mereka selalu ditampilkan dalam keadaan cantik/tampan, dengan busana yang indah-indah, dalam rumah-rumah yang megah. Artinya, ketertarikan perempuan terhadap melodrama disebabkan karena konstruksi-konstruksi atas citra perempuan yang ditampilkan, yaitu cantik, kaya dan hidup bahagia. Menurut Partington, dari melodrama ini para penonton belajar bahwa kecantikan feminin bukanlah sesuatu yang melekat sejak lahir, melainkan bisa diraih. Pada akhirnya, dengan konstruksi yang diciptakan tersebut, perempuan justru menemukan ruang untuk melihat feminitas sebagai sebentuk identitas yang terus berubah (shifting identity), bisa dilekatkan dan dilepaskan kapan saja mereka menginginkannya. Perempuan, melalui penampilan mewah melodrama juga mendapatkan kesempatan untuk merasakan aktivitas dan kompetensi konsumsi yang eksklusif. 
Kemudian, pada beberapa kasus, terlihat kecenderungan bahwa ada efek melodrama yang ditampilkan secara berlebihan untuk lebih bisa memancing emosi para penonton (misalnya adegan sadis dan kejam yang dilakukan oleh ibu mertua kepada menantu perempuannya). Adegan-adegan ini ditampilkan dengan asumsi bahwa perempuan—yang dilekatkan dengan stereotip emosional—suka dengan adegan-adegan yang melankolis.
* * *
Film melodrama kerap dituding menjual mimpi indah bagi para perempuan melalui penampilan estetiknya tersebut. Namun tentang hal ini, Geraghty (1991) mencatat bahwa sesungguhnya para perempuan menjadi dekat dengan film melodrama karena mereka merasakan bahwa sementara mereka menyaksikan adegan demi adegan, kisah yang terjadi di dunia yang hanya fiksi itu kemudian dipararelkan dengan apa yang terjadi dalam hidup sehari-hari. Menurut Geraghty, pada titik inilah film-film melodrama menjadi ‘dunia tetangga’ (neighbour world), yang dekat dengan—namun tidak sungguh-sungguh menjadi bagian dari—kehidupan.
Dalam konteks terbaru, analisa Geraghty itu tampaknya bisa diterapkan untuk melihat fenomena ketertarikan remaja-remaja perempuan atas Meteor Garden. Meteor Garden mampu menghadirkan dunia yang terasa begitu dekat dengan hidup sehari-hari seorang remaja perempuan; dunia kampus, interaksi dengan kelompok remaja laki-laki, persaingan mendapatkan laki-laki pujaan, cinta yang bertepuk sebelah tangan dan hal-hal lain yang menjadi bagian hidup sehari-hari. Dalam Meteor Garden, tokoh Sanchai membagi pengalamannya kepada remaja perempuan tentang bagaimana rasanya menjadi seorang remaja perempuan yang cantik tapi miskin, disukai oleh seorang yang tampan dan kaya, tapi harus mengalami banyak masa-masa sulit dalam perjalanan cintanya karena keadaan tersebut. Adegan-adegan yang ditampilkan dalam Meteor Garden dengan dialog dan pengambilan gambar yang mengharukan mengundang para remaja perempuan ini untuk ikut ambil bagian dalam situasi emosional yang dialami Sanchai. Banyak di antara penonton yang terharu atau menangis saat menyaksikan adegan tertentu. 
* * *
Dalam ilmu komunikasi maupun kajian budaya, keterkaitan antara perempuan dan melodrama telah lama menjadi bahan kajian yang menarik. Lebih dari sekedar menunjukkan bagaimana film melodrama telah menjadi pusat perhatian perempuan, beberapa studi bahkan telah berhasil menjelaskan bagaimana relasi antara perempuan dengan budaya populer (di mana film-film melodrama masuk ke dalamnya), apakah itu termasuk dalam usaha kapitalisasi perempuan—seperti yang sering dituduhkan—atau bisa menjadi alat bagi perempuan untuk mengelola kembali identitas diri. 
Beberapa studi yang dilakukan dalam relasi antara perempuan dengan film melodrama ini berusaha untuk menjawab pernyataan-pernyataan para feminis yang kerap menuding film melodrama sebagai bentuk subordinasi perempuan. Apakah yang terjadi sesungguhnya ketika perempuan mulai memasuki dunia melodrama? Apakah memang film melodrama telah memposisikan perempuan sebagai bentuk subordinasi, ataukah justru ketika memasuki dunia yang identik dengan budaya yang feminin tersebut perempuan justru dapat diberdayakan?
Salah satu studi yang cukup terkenal adalah yang dilakukan oleh Sonia Livingstone pada 1988 tentang opera sabun di Inggris. Pada studi ini, Livingstone menggunakan pendekatan ‘penggunaan dan kepuasaan’ (uses and gratifications) di mana ia menemukan bahwa kebanyakan responden yang menonton serial opera sabun di stasiun televisi Inggris menggunakan aktivitas tersebut sebagai salah satu bentuk eskapisme (pelarian) dari masalah hidup sehari-hari.
Studi lain dilakukan oleh Ien Ang dalam terhadap para penonton serial Dallas. Ien Ang memulai studinya dengan mempertanyakan mengapa menonton serial Dallas menjadi sebuah pengalaman yang menyenangkan. Hasilnya, Ien Ang menemukan bahwa kebanyakan penonton menganggap Dallas sebagai sebuah pertunjukan ‘hiburan’ (entertainment).
Dari beberapa studi tersebut Glendhill menyimpulkan bahwa sebagai bentuk tontonan yang dialamatkan pada perempuan, melodrama berkembang menjadi sebentuk budaya populer yang memberikan ruang bagi representasi sebuah wilayah pengalamandalam kehidupan personal dan emosional. Kemudian terjadi proses negosiasi tentang bagaimana citra perempuan direpresentasikan dalam melodrama. Jika masyarakat memberikan ruang  yang lebih lapang bagi cara pandang dan tokoh-tokoh perempuan, maka selanjutnya kekuatan atas dialog (yang sangat dominan dalam melodrama) dapat menjadi salah satu alat bagi sosialisasi kesetaraan gender.
* * * 
Tapi sesungguhnya, kini kita mendapati kenyataan bahwa menonton film melodrama tidak lagi eksklusif menjadi kebiasaan kaum perempuan. Para lelaki tampaknya mulai menikmati pula sensasi-sensasi emosional dan dramatis yang ditampilkan dalam sebuah tayangan melodrama. Misalnya saja, tidak sedikit  juga remaja laki-laki yang menonton serial Meteor Garden secara teratur. Bahkan, remaja-remaja laki-laki juga  banyak yang meniru potongan rambut pemain Meteor Garden (yang memang berkembang menjadi dandanan rambut baru di Asia).
Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003

Meteor Mimpi, Meteor Garden

Oleh Alia Swastika dan Yuli Andari
Dalam kurun tiga tahun terakhir ini, dunia pertelevisian di Indonesia berkembang sangat pesat. Bertambahnya jumlah stasiun televisi dari 5 menjadi 11 dalam waktu yang singkat menunjukkan keberadaan televisi sebagai salah satu industri media massa “favorit”. Kris Budiman (2002) mencatat bahwa jumlah jam siaran masing-masing stasiun tersebut mencapai lebih dari 20 jam sehari. Artinya, dengan jumlah 11 stasiun televisi, ada sekitar 220 jam tayang program per sehari.
Dalam banyak karya kajian budaya televisi dianggap telah menjadi media yang memberikan kontribusi terbesar dalam proses produksi dan distribusi budaya populer. Salah satu minat utama dalam kajian televisi adalah pada tayangan drama. Drama adalah salah satu program televisi yang tak pernah habis ditayangkan. Di hampir semua stasiun televisi, tayangan drama (apapun nama atau bentuknya, mulai dari sinetron, opera sabun, telenovela, hingga melodrama) selalu mendapat tempat di jam-jam tayang utama (prime time). Tayangan ini juga menempati posisi yang tinggi dalam perhitungan rating program televisi. Selain memberi suntikan iklan yang cukup besar bagi stasiun televisi, tayangan drama juga menjadi sumber utama bagi beberapa media cetak, yang menyediakan dirinya sebagai media 'resensi' drama televisi. 
Di Indonesia, tayangan drama awalnya dibanjiri produk impor, seperti telenovela atau serial dari mancanegara. Ketika diputuskan bahwa rasio tayangan lokal dan impor adalah 70:30 (70% produksi dalam negeri, 30% impor), maka sejak itulah sinetron dalam negeri semakin banyak diproduksi (Kitley, 2001).
Saat ini terdapat sekitar 80-an sinetron—termasuk telenovela dan melodrama Asia—yang sedang diputar di stasiun-stasiun televisi swasta di Indonesia. Yang menarik adalah bahwa 80% di antaranya selalu berujung-pangkal pada persoalan cinta dan segenap romantismenya.
Masuknya serial Meteor Garden (MG), sesungguhnya hanya menambah panjang daftar sinetron Asia yang masuk ke Indonesia. Sebelum MG disiarkan, sudah ada banyak sinetron Asia yang ditayangkan stasiun televisi Indonesia. Di akhir '80-an, TVRI, sebagai satu-satunya stasiun televisi yang ada, menayangkan serial Oshin. Ia termasuk salah satu serial Asia yang populer, digemari dan cukup sukses membawa kebudayaan Jepang ke Indonesia.  Setelah itu, menyusul serial Jepang lainnya, Rin.
Kemudian, pada awal '90-an, RCTI—yang merupakan stasiun televisi swasta pertama—meneruskan tradisi ini dengan menayangkan film atau serial  yang diimpor dari Hongkong dengan bintang-bintang seperti Andy Lau, Jackie Chan, dsb. Kebanyakan dari film tersebut masuk dalam golongan film laga yang bercerita tentang kehidupan mafia Triad atau Yakuza. Ada pula film-film jenis horor yang bahkan hingga kini masih diputar.
Di pertengahan '90-an, muncullah stasiun televisi Indosiar yang tampaknya memberikan perhatian lebih pada tayangan Asia. Di masa awal siarannya Indosiar telah menayangkan melodrama Jepang seperti Tokyo Love Story, Long Vacation atau Ordinary People. Selanjutnya, Indosiar juga menayangkan kisah-kisah silat yang biasanya telah dikenal dulu tokohnya di Indonesia lewat komik. Sebut saja serial Pendekar Rajawali Sakti (yang mempopulerkan tokoh Yoko). Hingga awal 2000, kisah-kisah tentang para pendekar inilah yang mendominasi tayangan Asia. Lalu, tibalah Meteor Garden (MG). Kisah dalam MG berkisar pada percintaan remaja yang diangkat dari komik Jepang Hana Yori Dango karya Yoko Kamio. Melodrama ini diproduksi dan dimainkan oleh bintang-bintang Taiwan. Meski baru diputar beberapa episode, rating MG mencapai 5,1 dan share-nya 29,9 artinya 5,1 persen dari total seluruh potensi penonton atau 29,9 dari penonton yang sedang berada di depan televisi pada jam itu. Rating MG terhitung bagus untuk waktu tayang weekday (Kompas, 2/6/02)
Demam MG dengan cepat melanda remaja. Personel-personel F4 (grup vokal yang menjadi aktor serial tersebut) menjadi pembicaraan utama penggemar serial ini. Tabloid-tabloid hiburan mengisi rubriknya dengan kisah tentang anak-anak muda Taiwan ini.
Selanjutnya tulisan ini akan mencoba menggambarkan secara bagaimana remaja memberikan perhatian khusus pada serial ini dan menyikapinya dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan ini merupakan bentuk super-ringkas dari kajian yang kami lakukan atas audiens MG.
* * * 
Kebanyakan audiens yang kami teliti mengemukakan alasan yang hampir sama saat ditanya mengapa menyukai MG, yaitu karena pemeran-pemeran cakep, keren, cool dan enak dilihat. Mereka juga tertarik dengan tema dan alur cerita yang ringan, mudah diikuti dan happy ending: “Ceritanya ringan dan mudah dicerna. Enak dilihat dan nggak perlu mikir berat. Biasalah tentang percintaan remaja. Jadi enak saja ngikutinnya”, “Ide cerita MG tidak jauh berbeda dengan sinetron Indonesia yang hanya ‘menjual mimpi’”, atau “Mirip Cinderella. Kita kan dari kecil sudah diberitahu tentang Cinderella, happy ending. Mungkin ini yang membuat cewek-cewek suka”.
Tao Ming Se adalah tokoh yang paling banyak disukai remaja perempuan: “Dia kaya, badannya bagus, tinggi, tegap, “enak dipeluk”, tegas, berpinsip, setia dan menolak free sex,” “Dia kontradiktif: kurang ajar dan care”, tapi ada juga yang mengatakan, “Karakter seperti itu mungkin hanya ada dalam komik. Tidak mungkin ada cowok yang kaya, cakep, setia, posesif, tempramental sekaligus”. Sementara yang menyukai Hua Che Lei beralasan karena tokoh ini bijaksana dan lembut. Dan yang menyukai Xi Men beralasan karena ia dewasa, setia kawan, baik dan berkacamata.
Perlu dicatat pula, bahwa sejak serial MG ini menjadi favorit, kriteria-kriteria ketampanan yang selama ini dominan di kalangan remaja perempuan menjadi bergeser. Wajah-wajah “oriental” ala Asia Timur, kini mulai mendapatkan tempat, sama posisinya dengan anggota-anggota boyband yang “sangat Barat”. Tampaknya remaja perempuan memproyeksikan impian mereka atas karakter tertentu yang seharusnya dimiliki seorang lelaki melalui tokoh-tokoh yang ada, baik secara fisik maupun perilakunya.
* * * 
MESKI MG masih ditayangkan di Indosiar, semua audiens dalam penelitian ini telah menonton seluruh episode MG dalam bentuk CD (19 episode). Menunggu tak betah menunggu seminggu untuk mengetahui kelanjutan ceritanya.
Kami mencatat dan mengamati suasana, komentar, dan celetukan-celetukan selama nonton bareng MG di beberapa tempat (baik di kos-kosan maupun selama diskusi kelompok terfokus). Kebanyakan komentar muncul ketika adegan romantis, sedih, lucu dan ketika tokoh-tokohnya tampil close up. Komentar-komentar “ih, cakep banget”, “Keren, ya”, “Wah romatisnya”, “Dasar Bodoh” muncul silih berganti. Selain itu ada juga yang mengikuti Ni Yo Te Ai (lagu tema MG) oleh Penny Tai atau Qing Fei Te Yi oleh Harlem Yu. Mereka juga berdiskusi apa yang seharusnya dilakukan tokoh-tokoh dalam MG ketika menghadapi masalah tertentu. Ketika kami membandingkannya dengan kelompok remaja laki-laki yang juga menonton MG, komentar-komentar seperti itu tidak banyak muncul. Kebanyakan remaja laki-laki hanya tertawa saat ada adegan yang lucu, atau mengomentari jalan cerita yang terlalu dibuat-buat.
* * * 
Dari kajian audiens MG ini, kami melihat bahwa remaja-remaja perempuan mendapatkan kesempatan untuk mengindentifikasi apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari dengan kisah dalam serial itu. Menurut mereka, apa yang dialami Sanchai, dalam relasinya dengan Tao Ming Se, adalah hal yang akrab dengan remaja perempuan. Sesekali dalam aktivitas menonton itu, mereka berkomentar, “Tuh kan, semua cowok memang begitu! Mau enaknya aja”. Rupanya ada pengalaman personal yang membuat remaja-remaja perempuan bisa menumpahkan kekesalan pada laki-laki melalui aktivitas menonton film.
Kami juga melihat bahwa aktivitas menonton saja belumlah cukup. Mereka juga berusaha menggali lebih jauh informasi yang rinci tentang MG karena informasi ini membantu mereka untuk bisa berada dalam ruang pembicaraan yang sama dengan teman-temannya. Dalam 'girl talk' (pembicaraan remaja perempuan), tema-tema yang sifatnya intim dan personal (termasuk aktivitas curhat dan gosip tentang selebritis) menjadi sesuatu yang khas. Dalam aktivitas ini, remaja-remaja perempuan bertukar informasi tentang berita-berita terbaru yang didapatkan tentang tokoh tertentu dalam siaran favorit mereka lalu mengidentifikasikannya dengan kisah yang mereka alami sehari-hari. Bagi remaja perempuan aktivitas 'dalam kamar' ini mendatangkan kesenangan tertentu, yang bisa jadi kadarnya sama dengan kesenangan yang dilakukan remaja laki-laki saat nongkrong di pinggir jalan atau menonton konser musik underground. Mereka menemukan romantisme ideal dalam hubungan cinta dalam film ini, sesuatu yang sulit mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari.
Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003

Kami Tak Berhenti Begadang

Oleh Faruk HT
Bisakah dangdut menjadi musik bergengsi, apalagi penjaga gawang moralitas? Bisa iya, bisa tidak. Semuanya tergantung pada apa yang dimaksud gengsi, apa pula yang dimaksud moralitas itu. Semuanya juga tergantung siapa yang memberi makna terhadapnya.
Dangdut adalah musik yang digemari oleh kelompok masyarakat marginal atau yang termarginalkan, baik secara ekonomis maupun secara geografis. Dari segi ekonomis, dangdut merupakan musik yang digemari oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah, misalnya para buruh di perkotaan. Dari segi geografis, ia merupakan musik yang hidup dan dihidupi oleh kelompok masyarakat yang ada di pinggiran, baik pinggiran kota, pedesaan Jawa, pesisir, ataupun luar Jawa yang menjadi pusat kekuasaan ekonomi, politik, dan bahkan kultural masyarakat Indonesia.
Ketika saya masih kecil, duduk di sekolah dasar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, di akhir 1960-an, seingat saya apa yang disebut musik dangdut belum ada. Yang ada adalah musik Melayu. Di daerah asal saya itu musik Melayu ini hidup dan tersebar melalui pertunjukan-pertunjukan keliling yang dikenal dengan rombongan Orkes Melayu. Repertoirnya sebagian besar diambil dari lagu-lagu Melayu Deli dan Malaysia akhir-akhir ini mulai muncul lagi, misalnya “Bunga Nirwana” dan “Sabda Pujangga”.
Karena saya masih kecil waktu itu, musik Melayu saya rasakan sebagai musik orang-orang tua atau setengah tua (paman saya seorang penyanyi yang tergabung dalam sebuah Orkes Melayu). Musik anak muda adalah musik pop yang diledakkan oleh antara lain Koes Plus dan kemudian disusul oleh The Mercy's, Pambers, dsb., dan selanjutnya kelompok-kelompok musik yang membawakan musik rock: Giant Step atau Godbless dengan Achmad Albarnya, AKA dengan Ucok Harahapnya, dan Rollies dengan Gitonya.
Musik Melayu dapat dikatakan tenggelam waktu itu. Baru pada awal ‘70-an, dengan kemunculan Rhoma Irama yang mengkombinasikan musik Melayu dengan musik pop dan rock, musik Melayu mulai memperoleh penggemar di kalangan anak muda. Namun, namanya segera berubah dari musik Melayu menjadi musik dangdut, meskipun jejak Melayunya tidak sepenuhnya hilang, baik dari segi iramanya, temanya, maupun penampilannya. Kelompok Rhoma Irama sendiri, waktu itu, menamakan dirinya masih sebagai orkes Melayu, yaitu Orkes Melayu Sonata.
Tapi, kehadiran Rhoma sama sekali tidak membuat musik dangdut menjadi terangkat ke lapisan atas masyarakat. Yang berhasil dilakukannya lebih merupakan revitalisasi dan reaktualisasi musik masa lalu itu ke masa kini. Tapi, dengan hidup kembalinya musik Melayu, ia justru kemudian menegaskan stratifikasi sosial yang menajam di dalam masyarakat sebagai akibat perkembangan teknologi informasi dan ekonomi Orde Baru. Kalau sebelumnya masyarakat lapisan bawah yang terbentuk sebagai akibat kebijakan ekonomi dan informasi Orde Baru seakan tidak mempunyai “corong”, sarana kultural dan musikal untuk aktualisasi dan identifikasi diri, dengan Rhoma Irama, mereka memperoleh hal tersebut. Dengan demikian, jasa besar Rhoma terletak bukan pada mengangkat musik dangdut ke strata sosial yang lebih tinggi, melainkan menghidupkan dan mereaktualisasikan musik Melayu dan memberikan sarana ekspresi dan identifikasi diri pada masyarakat lapisan bawah.
* * * 
Yang ingin saya katakan adalah bahwa dangdut adalah lagu masyarakat lapisan bawah dan tidak akan pernah serta bahkan sebaiknya tidak menjadi lagu lapisan atas masyarakat, lagu kelompok elite. Memang, seperti halnya Sri Mulat, lagu dangdut mulai mendapat ruang yang semakin luas dan bahkan terluas di televisi, sesuatu yang sebelumnya menjadi wilayah musik pop atau musik masyarakat dari lapisan yang lebih tinggi. Namun, kecenderungan itu lebih disebabkan oleh perkembangan daya beli masyarakat lapisan bawah itu sendiri bersama dengan perkembangan teknologi media massa yang menayangkannya. Ia dapat dipastikan sama sekali bukan akibat dari perkembangan cara penyajiannya, termasuk substansi musikal dan liriknya.
Perkembangan teknologi informasi telah memungkinkan dihasilkannya produk-produk rekaman musik yang semakin murah dalam jumlah yang semakin besar dan dengan tingkat penyebaran yang semakin cepat dan luas dan karenanya semakin terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah. Dengan perkembangan ini masyarakat lapisan bawah itu menjadi pangsa pasar media dan iklan yang sangat besar pula. Iklan sendiri berhubungan dengan perkembangan industri di Indonesia. Semakin banyak dan beraneka komoditas yang ditujukan pada masyarakat lapisan bawah, semakin besar kepentingan industri untuk menjangkau masyarakat tersebut melalui media massa, terutama televisi. Dalam hubungan dengan iklan ini dapat pula dibuktikan bahwa betapa besar pun ruang yang tersedia di televisi untuk dangdut, ia tetap dipahami sebagai musik masyarakat lapisan bawah dan ditujukan pada masyarakat lapisan tersebut. Iklan-iklan untuk musik dangdut adalah iklan-iklan bagi produk-produk yang menjadi konsumsi khas masyarakat lapisan itu, misalnya obat kuat yang sangat penting bagi buruh yang telah bekerja keras secara fisik, obat kemampuan seks, obat sakit kepala atau penghilang penghilang rasa sakit lainnya, dan sejenisnya. Tidak akan ada iklan mobil mewah atau pakaian dan kosmetika mahal dipasang untuk menjadi sponsor musik dangdut.
Ike Nurjanah dan Iis Dahlia mungkin dua di antara sedikit penyanyi dangdut yang tampil berbeda, yang mengutamakan keindahan dan keanggunan daripada kekuatan dan seks, dalam menyanyi dangdut. Tapi, hal itu tidak akan dapat mengubah musik dangdut menjadi musik elitis. Keanggunan dan keindahan mereka sebenarnya sama saja dengan ungkapan perasaan yang halus yang muncul di banyak lagu dangdut. Tapi, kehalusan ungkapan perasaan dalam lirik itu tidak pernah menghapuskan irama dangdut sendiri, yaitu irama yang mengajak bergoyang ala film India: goyang yang berpusat di pinggul dan pinggang serta dada. Dangdut bukan musik yang mengajak orang berkontemplasi secara spiritual, melainkan mengajak orang bergerak dan bertindak secara fisik sebagaimana kehidupan sehari-hari masyarakat lapisan bawah.
Banyak pujian yang diberikan kepada Elvi Sukaesih dalam hal ketepatannya menyesuaikan gerak dengan irama dan tema lirik musik. Namun, sewaktu di kampung saya mulai ada televisi, TVRI waktu itu, ibu saya pernah jengkel sekali kepada Bapak saya karena ia memelototi Elvie Sukaesih di layar televisi. Tidak ada persoalan keselarasan irama atau apa pun namanya bagi penonton ketika mereka menonton atau mendengarkan musik dangdut. Yang ada adalah citra tubuh yang menonjol, citra kekuatan fisik dan seksual. Karena, pada hal itulah kehidupan masyarakat bawah bersandar.
Rhoma Irama dikenal sebagai penyanyi dan pengarang lagu dangdut yang berhasil menyisipkan pesan-pesan moral dalam lagunya. Apakah hal itu berarti dapat mengangkat musik dangdut keluar dari “comberan”? Tidak juga. Pertama, musik dengan ajaran moralitas yang eksplisit merupakan musik yang khas masyarakat lapisan bawah, bukan masyarakat lapisan atas yang cenderung abstrak, kosmopolit, dengan pandangan mengenai moralitas yang kompleks dan ambigu, dan dengan penanaman kemampuan intelektual yang tinggi dan kehalusan perasaan. Karena itu, penempatan ajaran moral yang eksplisit seperti yang dilakukan Rhoma Irama hanya menegaskan bahwa dangdut memang musik lapisan bawah masyarakat, musik yang ia sebut sebagai “comberan”.
Kedua, masyarakat lapisan bawah punya cara dan kepentingan sendiri dalam menikmati dan menghayati musik dangdut, antara lain dengan menempatkannya sebagai alat identifikasi dan ekspresi diri. Sebagai kelompok masyarakat yang hidup dalam sistem stratifikasi sosial dan ekonomi yang sangat tajam dan menajam, menjadi tidak masuk akal bagi mereka untuk dapat merasa bersatu dengan kelompok sosial ekonomi yang ada di lapisan atas, yang ada di atas “comberan”. Dalam sistem stratifikasi yang demikian, yang bisa mereka lakukan adalah bagaimana bisa hidup betah di comberan saja, bukan melakukan hal yang mustahil dengan keluar dari comberan itu. Salah satunya, dengan membalikkan makna comberan itu menjadi sesuatu yang lebih berharga.
Pada waktu saya remaja, salah satu lagu yang kami gemari dan nyaris menjadi lagu wajib adalah “Begadang”. Meskipun lagu itu mengajarkan agar orang jangan begadang kalau tidak perlu, jangan begadang karena hal itu dapat merusak badan, kami tidak pernah tergelitik untuk berhenti begadang atau hanya begadang kalau ada perlunya. Saya pribadi, sebagai bagian dari masyarakat penggemar dangdut, merasakan bahwa justru dengan tetap begadang tanpa ada perlunya kami menegaskan identitas kami, menjadi bangga pada diri kami. Lagu itu, dengan demikian, kami gemari bukan sebagai petuah yang harus diikuti, melainkan petuah yang harus dilanggar. Adanya petuah itu, bagi kami, hanya menegaskan bahwa jalan kami memang lain dari mereka yang “begadang kalau ada perlunya”.
Justru dengan tetap berada di “comberan”, kami merasa bahwa kami lain dari mereka, dan bahkan kami mampu dan berani hidup dalam lingkungan yang mereka justru tidak bisa dan tidak berani melakukannya. “Comberan” sama sekali bukan hal yang menjijikkan dan hina bagi kami, melainkan sesuatu yang membanggakan. Begitupun dangdut dengan goyangnya, dengan citra kekuatan fisik dan seksnya. Bukankah banyak kelompok elit, kaum eksekutif dan kaya, yang kabarnya impotent? Bagi masyarakat lapisan bawah, kekuatan fisik dan seks, merupakan sesuatu yang membanggakan karena hanya itulah yang mereka miliki. Kalau hal itu dihilangkan dari dangdut, dangdut ditarik keluar dari comberan, masyarakat lapisan bawah tidak hanya kehilangan musik, tapi juga kehilangan identitas dan sekaligus eksistensi serta kebanggaan mereka.
Bersatulah penggemar dangdut Indonesia.
Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003

 #semoga bermanfaat

No comments:

Post a Comment