Budaya Cewek
Oleh Nuraini Juliastuti
Angela McRobbie (1995) mengatakan bahwa tampaknya selama ini remaja
perempuan hanya bisa ditemukan dalam catatan kaki atau sebagai referensi
tambahan saja. Suatu kategori di antara 'remaja' dan 'bisnis-bisnis lainnya'.
Remaja perempuan tampaknya tidak benar-benar berada di sana. Pernyataan
McRobbie ini mewakili kritik kaum feminis terhadap analisis-analisis subkultur
yang selama ini ada. Analisis subkultur dianggap tidak memberi perhatian dan
tempat yang layak kepada remaja perempuan.
Bill Osgerby (1998) mencatat bahwa masa sebelum Perang
Dunia II, pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, kategori 'youth' dan
'adolescent' secara umum mempunyai konotasi dan imej laki-laki. Pada masa ini,
remaja perempuan cenderung digolongkan sebagai kelompok yang 'classless' dan
disembunyikan dari sejarah. Tapi pada masa setelah Perang Dunia II, 'teenager'
bermakna remaja perempuan dan remaja laki-laki. Skala perubahan remaja
perempuan pada kedua masa ini tentunya membutuhkan area peliputan yang lebih
luas.
Di Indonesia sendiri, terlebih dulu kita mengenal remaja
perempuan sebagai kelompok remaja yang ikut berpartisipasi membantu perjuangan
merebut kemerdekaan. Mereka ikut membantu merawat para prajurit laki-laki yang
terluka, atau membantu memasak keperluan logistik para prajurit di dapur umum.
Gambaran remaja perempuan berpakaian putih-putih dengan simbol palang merah di
lengan, yang sedang berjongkok membalut luka prajurit, sangat sering kita
jumpai dalam drama-drama di panggung peringatan hari ulang tahun kemerdekaan
Indonesia, juga dalam foto-foto atau gambar di buku-buku sejarah.
McRobbie kemudian mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan
pokok yang bisa dijadikan panduan atau penuntun dalam melakukan penelitian
terhadap subkultur remaja perempuan, yaitu: 1) apakah mereka 'hadir', namun
'tidak nampak'?, 2) jika mereka memang hadir/eksis, apakah peranan mereka lebih
marjinal daripada laki-laki, atau apakah mereka memainkan peran yang berbeda?,
3) apakah posisi remaja perempuan menunjukkan pilihan subkultural, atau apakah
peranan mereka merefleksikan subordinasi umum perempuan?, 4) apakah ada
cara-cara berbeda dan khusus yang dijalankan remaja perempuan dalam
mengorganisir hidupnya?
Remaja perempuan sebenarnya eksis dan hadir dalam
kehidupan subkultur. Kita bisa menemukan remaja perempuan dalam kerumunan
penonton konser musik rock, kita juga bisa menemukan remaja-remaja perempuan
ikut bergabung dalam kelompok-kelompok punk di jalan-jalan. Tetapi seringkali
keterlibatan perempuan dalam subkultur dikaitkan dengan kemerosotan moral dan
degradasi personal. Media massa juga kerap memandang remaja perempuan dalam
kelompok ini sebagai sesuatu yang sensasional semata.
Fakta lain menunjukkan bahwa jika remaja perempuan dan
laki-laki sama-sama tergabung dalam kelas pekerja, gaji yang diterima
kadang-kadang tidak sama. Atau meskipun penghasilan mereka sama, gaya konsumsi
remaja perempuan dan remaja laki-laki pasti akan berbeda karena aktivitas
bersenang-senang yang mereka lakukan juga berbeda. Atau mungkin aktivitas
bersenang-senang yang dilakukan remaja laki-laki dan remaja perempuan jaman
sekarang tidak terlalu menunjukkan perbedaan yang menyolok. Kita akan dengan
mudah menemukan remaja perempuan sama banyaknya dengan remaja laki-laki dalam
kafe atau music club. Tapi tetap saja remaja perempuan harus 'berhati-hati
supaya tidak mendapat bahaya' di tempat-tempat seperti itu. Bahaya ini biasanya
berupa serangan seksual dari remaja laki-laki atau laki-laki dari kelompok umur
yang lebih tua. Sikap khawatir, ketakutan, dan hati-hati terhadap bahaya-bahaya
ini biasanya didukung oleh para orang tua. Tidak heran jika remaja-remaja
perempuan diharapkan untuk lebih banyak berada di dalam rumah atau dalam kamar.
Intinya, mereka didukung untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih
berpusat dalam rumah. Rumah teman-teman perempuan dan kamar tidur akhirnya
menjadi situs-situs kunci remaja perempuan.
Perkembangan dalam dunia konsumerisme kemudian
menunjukkan dimulainya boom berbagai macam produk yang khusus ditujukan untuk
pasar remaja perempuan, mulai dari kosmetik, pakaian, dan berbagai macam
pernik-perniknya. Hal-hal itu biasanya dipakai di rumah. Rumah teman dan kamar
tidur kembali menemukan tempatnya. Jadi bisa dikatakan, remaja perempuan
berpartisipasi dalam perkembangan dunia di luarnya, dan mereka mengkonsumsi itu
semua di rumah, dalam tempat tidur mereka.
Remaja perempuan juga cenderung tidak dicurigai jika
mempunyai teman-teman dekat perempuan. Maka tidak heran jika sejak jaman dulu
sampai sekarang, pemandangan seorang remaja perempuan yang berada di tengah
kerumunan kecil kelompok/gang perempuannya selalu dengan mudah bisa kita temui.
Kehidupan kelompok remaja perempuan dipopulerkan kembali oleh Cinta, Maura,
Milly, Alya dan Karmen dalam film Ada Apa Dengan Cinta. Para remaja perempuan
biasanya memperoleh eksklusivitas sosial, ruang-ruang privat dan tidak bisa
diakses, ruang-ruang khusus yang berjarak dan, untuk sementara, bebas dari
tekanan orang tua, guru-guru di sekolah, juga teman-teman laki-laki.
Kehadiran majalah-majalah remaja perempuan juga harus
diperhitungkan jika kita ingin membuat analisa terhadap para remaja perempuan
ini. Mulai 1980-an akhir dan 1990-an, muncul kelompok-kelompok band laki-laki
yang ditampilkan dengan daya tarik seksual yang lebih menonjol. Maskulinitas
mulai ditampilkan sebagai objek sama menarik dan menggairahkannya dengan
feminitas. Dan majalah-majalah remaja perempuan yang hadir di sini ikut
mendukung dengan memberikan liputan dan perhatian yang besar kepada mereka,
sehingga bisa dikatakan posisi remaja perempuan sekarang jadi terbalik. Mereka
yang biasanya berposisi sebagai objek, ketika berhadapan dengan maskulinitas
kelompok-kelompok band laki-laki ini, berbalik posisi menjadi si penglihat.
Pada akhir 1990-an, di Indonesia muncul kelompok majalah
remaja perempuan yang berposisi sebagai edisi bahasa Indonesia dari majalah
remaja perempuan yang terbit di luar negeri seperti Cosmo Girl dan Seventeen.
Kehadiran majalah-majalah ini ikut meramaikan dunia terbitan remaja Indonesia,
berdampingan dengan media-media lokal seperti Gadis dan Kawanku.
Majalah-majalah ini ikut mempopulerkan istilah 'girl power' di Indonesia. Girl
Power sendiri merupakan istilah yang dimunculkan oleh kelompok musik asal
Inggris, Spice Girls, tahun 1996 silam.
Mungkin kita bisa mengatakan bahwa
hal-hal seperti ini terlalu kecil bagi remaja perempuan, tetapi menurut saya,
media-media remaja perempuan, juga pemakaian istilah-istilah semacam ini,
berusaha menegosiasikan ruang-ruang personal, pribadi, juga ruang-ruang aktivitas
bersenang-senang mereka sehari-hari, diolah kembali, sehingga bisa membuka
peluang perlawanan dan resistensi.
Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003
Glosari
Budaya Cewek
Oleh
Annisa Muharammi
Bete: boring top, bad
temprament, bosan total, butuh tatih-tayang (butuh kasih sayang). Bete
paling sering digunakan untuk menunjuk suasana hati yang sedang tidak
menyenangkan, malas melakukan sesuatu, dan bosan. Penyebab bete yang paling
populer bagi cewek adalah diputus pacar, ulangan atau ujian tidak sukses, menunggu
terlalu lama, batal nge-date (janjian) bareng teman atau pacar, uang
saku dipotong, dan dimarahi orang tua. Mengurung diri di kamar, belanja, ngemil
(memakan makanan ringan), atau jalan-jalan bareng teman adalah cara buat
mengusir bete.
Curhat: ‘curahan hati’,
berbicara untuk “berbagi perasaan” dengan teman dekat. Curhat bisa dilakukan
dimana saja dan kapan saja, seperti di kamar, di kelas, di mall, di
tempat nongkrong, toilet, bahkan curhat untuk anak SMU bisa dilakukan saat
upacara bendera. Soal yang dicurhatkan bisa soal pacaran, orangtua, teman,
tempat nongkrong yang baru, sampai masalah duit. Ada cewek yang menghabiskan
waktu seharian untuk curhat. Curhat bisa menimbulkan perasaan bebas, lega,
menambah semangat, tapi sekaligus bisa juga menambah persoalan.
Dandan: aktivitas sehari-hari
untuk mempercantik diri. Untuk cewek yang biasa dandan, dandanan yang wajar itu
cukup bedak dan lipstik. Tapi ada cewek yang tidak biasa dan tidak bisa dandan
sama sekali. Dandan juga termasuk memadukan pakaian, tas dan sepatu/sandal yang
akan dipakai. Untuk kebanyakan cewek, me-mix dan me-match-kan
pakaian, sepatu, dan tas adalah hal yang sangat penting.
Gaul: tidak ketinggalan
zaman, trendi. Ukuran kegaulan adalah pengetahun tentang perkembangan musik dan
fesyen, rambut berwarna, berani tampil beda, kendaraan yang dimodifikasi dan
diberi beragam asesoris, telepon genggam model paling baru, dan yang terpenting
tidak lemot (‘lemah otak’) dan tulalit (“nggak nyambung”) kalau ngobrol.
Gebetan: seseorang yang sedang
ditaksir oleh cewek (juga disebut kecengan, dari kata ‘ngeceng’). Gebetan
jumlahnya bisa lebih dari satu. Bagi cewek, digebet lebih dari satu cowok
merupakan suatu kebanggaan. Aktivitas mencari gebetan mencari gebetan di sebut
ngegebet.
Inner Beauty: “cantik
batin”. Kecantikan tubuh akan dianggap lebih berarti jika disertai kecantikan
batin. Menurut majalah Gadis meskipun cantik layaknya Dian Sastrowardoyo
(bintang Ada Apa dengan Cinta?), seorang cewek tetap terlihat biasa
kalau tidak didukung oleh “kecantikan dari hati”. Yang disebut “cantik hati
adalah cerdas, ramah, murah senyum, punya banyak teman, dan rendah hati. Banyak
cewek yakin bahwa kekuatan inner beauty juga dapat membuat cowok “bertekuk
lutut”.
Jaim: ‘jaga image’.
Suatu cara untuk mengubah diri demi kepentingan tertentu. Jaim bersifat
sementara dan dilakukan untuk mengelabui orang lain. Misalnya saja ketika
seorang cewek ngegebet seorang cowok, ia pasti men-jaim-kan diri di depan cowok
gebetannya karena tidak ingin terlihat agresif, padahal si cewek sebenarnya
sangat menyukai si cowok. Si cewek misalnya, tidak ingin menunjukkan bahwa ia
tidak suka tertawa keras, tidak suka makan banyak, dan yang paling penting si
cewek tidak mau terlalu menunjukkan bahwa ia menyukai si cowok. Di depan si
cowok ia harus tampak cool dan jangan sampai menyampaikan rasa sukanya lebih
dulu. Tetapi jika sudah menjadi pacar—artinya: tujuannya sudah tercapai—ia
tidak lagi jaim. Jaim bahkan harus dihindari, karena dianggap sebagai
kemunafikan.
Ngeceng: pamer. Misalnya pamer
baju baru, pamer mobil baru bahkan pacar baru pun dipamerkan. Ngeceng lebih
sering dilakukan cewek-cewek di mall atau tempat-tempat yang “bertaburan
cowok cakep”. Ngeceng biasanya dilakukan rame-rame. Jika beruntung ngeceng
dapat berbuah kenalan seorang atau komplotan cowok yang akhirnya bisa dijadikan
gebetan bahkan pacar.
Ngedugem: dari kata dugem,
‘dunia gemerlap’. Ngedugem adalah aktivitas bersenang-senang yang biasanya
dilakukan malam hari di kafe atau diskotik. Yang dilakukan ketika ngedugem
biasanya menyanyi karaoke, jojing (joget-joget di diskotik), atau sekedar
minum-minum. Cewek-cewek biasanya berpakaian lebih berani dan tebuka saat
ngedugem. Ngedugem biasanya dilakukan pada akhir pekan. Kadang-kadang cewek
dilarang ngedugem oleh orang tua atau pacarnya, karena ngedugem identik dengan
“cewek nakal”.
Nongkrong: aktivitas berkumpul
dengan kelompok sepermainan (geng) atau pacar di suatu tempat yang biasanya
sudah ditentukan. Cewek biasanya memilih nongkrong di kafe, mall,
tempat les, dsb. Ada juga yang membuat tempat nongkrong sendiri (semacam markas
tetap sebuah geng). Nongkrong dianggap lebih gaya dan bergengsi kalau mambawa
mobil. Nongkrong tidak terlalu butuh banyak biaya seperti nyalon. Biasanya
cewek-cewek lebih memilih nongkrong dengan teman-teman se-geng dibanding dengan
cowoknya. Nongkrong biasanya juga diikuti dengan ngerumpi (bergosip).
Nyalon: dari kata ‘salon’,
tempat “memperbaiki penampilan”. Yang paling sering dilakukan cewek ketika
nyalon adalah creambath (memberi krim vitamin pada rambut biar rambutr
jadi sehat), facial (salah satu jalan untuk membuat kulit muka lebih
halus, putih dan bebas jerawat), menicure-pedicure (perawatan kaki dan
tangan, biasa disingkat ‘meni-pedi’), juga meluruskan dan mewarnai rambut
dengan warna-warna menyala (oranye, kuning, merah, hijau, coklat), ada juga
luluran, mandi sauna, sampai pijat akupuntur untuk menguruskan badan. Untuk
cewek-cewek berduit nyalon adalah rutinitas. Aktivitas nyalon sering dijadikan
ajang ngeceng, gaul, dan unjuk diri bagi cewek-cewek.
Prom Night: pesta perpisahan.
Acara ini dijadikan ajang untuk menunjukkan diri (kecantikan, kekayaan, pacar
baru, dsb.). Bagi yang belum punya cowok, prom night merupakan saat-saat yang
mendebarkan untuk dilirik cowok. Majalah-majalah remaja pun sampai menyiapkan
edisi prom night yang berisi tips-tips sebelum dan ketika prom night
berlangsung. Biasanya ada pemilihan King & Queen of Prom Night.
Itulah yang membuat cewek-cewek ingin tampil beda.
Singkatan
HTM: Hubungan tanpa menikah.
HTS: Hubungan tanpa status.
HBL: Haus belaian laki-laki.
HBW: Haus belaian wanita.
PTS: Putus (pacaran).
TTM: Teman tapi mesra
Setia: Selingkuh tiada akhir.
SMS: Sarana menuju selingkuh.
Cokiber: Cowok kita bersama.
Jigun: Jiwa guncang.
DDA: Debar-debar asmara.
MBA: Married by accident.
CPK: Cipokan (ciuman).
FK: French Kiss
ML: Making Love (atau ‘Mama Lemon')
Contoh dalam kalimat: Gue suka ma cowok, dia sahabat gue sendiri, namanya Luki. Gue suka ama
dia tapi gue gak tau apakah dia juga suka ama gue. Tapi kayaknya sih dari
sikap-sikap dia ke gue dia juga suka ama gue. Kata temen2 gue kita TTM/HTS gitu
deh. Iya juga kali ya. Gue sangat menikmati saat-saat kayak gini. Akhir-akhir
ini gue sering banget speechless en DDA gitu. Seminggu yang lalu, tim
cheerleader gue pentas. Tanpa gue sangka-sangka ternyata dia dateng buat
ngasih support gitu ke gue. Gue kan jadi Jigun pas pentas. Kayaknya gue ama dia
sama2 HBL n HBW gitu deh. Temen2 cheers gue juga pada suka ama dia, soalnya
selain anaknya luncang (lucu), dia juga ramah banget sama semua orang. Saking
baeknya dia ama temen2 gue, gue ama anak2 punya kesepakatan buat jadiin dia
cokiber. Dan dia keliatannya gak keberatan gitu dengan istilah itu. Sukur deh.
Gue bener-bener lagi berbunga-bunga sekarang, karena kemaren pas ulangtaun gue,
kita cpk-cpk gitu trus ya u know lah..abis gitu mama lemon deh.. Hehehe..
Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003
Arus Mimpi Perkotaan di Negara Bekas
Jajahan
Oleh
Primanto Nugroho
Karier, gaji, dan masa depan. Bagaimanakah di tengah arus
krisis yang menyapu isi 1 negeri ini dapat diterima akal maupun budi dan bahasa
tentang adanya suatu karier dengan gaji yang dapat menghidupi masa depan ?
Kisah seperti apakah yang dapat disusun untuk menyampaikan kabar perasaan orang
yang dari saat ke saat terus terhimpit dalam hidup kesehariannya namun
sekaligus juga dipacu untuk mau percaya bahwa karier dan masa depan ada dalam
genggaman ?
Segenap cara bercerita berikut konseptualisasi ide yang
di masa sebelum krisis menerjang dapat diyakini untuk menentramkan hidup bermasyarakat
kini rontok; baik pelembagaan bernegara, berbangsa, berkeluarga, beragama,
bersekolah, berkesenian,... amblas disapu angin, hilang otoritasnya. Maka
yang tinggal adalah igauan, gossip, ceracauan, ramalan, dan bisik-bisik. Dalam
arus itulah mimpi mendapat tempatnya. Inilah cerita tentang mimpi.
Yang Diimpikan
Tersebutlah di selembar halaman majalah remaja pria tahun
2001 bahwa ada 3 cara untuk mengawali
sukses sebagai sutradara. Pertama, masuk sekolah film. Kedua, langsung jadi sutradara. Atau terakhir, meniti karir dari awal. Untuk yang paling bontot ini
ada langkahnya, sejak dari asisten sutradara, penulis skenario, atau director
of photography.
Kiat sukses berkarir begituan dapat dengan gampang
dijumpai di bacaan-bacaan untuk orang muda yang diterbitkan dari Jakarta,
setidaknya sejak dekade 1990-an yang lalu.
Bayangan akan sukses itu juga dapat dilacak dari
sepenggal kisah debut seorang penyanyi berusia 15 tahun yang dalam sebuah
edisi majalah remaja putri di bulan Pebruari 2002 diceritakan “baru aja
ngerilis album terbarunya” dan berujar, ”Nyanyi itu adalah sesuatu yang
paling berarti dalam hidupku.....Dari kecil, aku memang udah pengen banget jadi
penyanyi. Percaya nggak, waktu masih kelas 1 SD aku pengen banget kayak Eno
Lerian, bisa masuk TV, dan nyanyi di depan orang.....Mmm, insya Allah kalau aku
dikasih kesempatan aku pengen banget belajar di London, soalnya kan sekolah
seni di London itu terkenal bagus banget”.
Orang muda lain dipaparkan dalam liputan utama
tentang “pasar remaja” oleh sebuah majalah bisnis edisi akhir tahun 2000
sebagai seorang pelajar kelas III SMU dari jurusan IPA yang termasuk 10 besar
di kelasnya. Diceritakan, sejak kecil cowok Jakarta kelahiran tahun 1983 yang
–konon- punya IQ 146 ini menyukai semua pelajaran berhitung. Maka, ia pun
bertekad masuk kelas IPA saat SMU. Selanjutnya selepas sekolah menengah nanti
ia ingin sekali kuliah di Fakultas Teknik Kimia ITB. Untuk itu doi rela
mengurangi kegiatan keluar rumah biar bisa drilling pelajaran buat
persiapan EBTA dan UMPTN di waktu favoritnya untuk belajar ......sejak jam 3
pagi !
Pemandangan yang tak jauh berbeda terjadi di kalangan
yang disebut ‘profesional muda’. Idam-idaman kaum berdasi ini ternyata adalah
“perusahaan yang menyediakan jenjang karier jelas, gaji tinggi, memberi
kesempatan belajar dan dikelola secara profesional”. Setidaknya begitulah yang
dilaporkan oleh sebuah majalah ekonomi dari Jakarta pada edisi Oktober tahun
2001. Ada 12 jago di puncak idam-idaman itu, terdiri dari 5 BUMN, 5 perusahaan
multinasional, dan 2 swasta nasional:
“Karier jelas, Gaji Besar, Masa Depan OK. (1) PT Telkom;
(2) Pertamina; (3) PT. Caltex Indonesia; (4) Bank BNI; (5) PT. Astra
International; (6) Citibank (Indonesia); (7) PT Freeport Indonesia; (8) PT
Unilever Indonesia; (9) PT Indosat; (10) PT Bakrie & Brothers; (11) PT.
Coca Cola Indonesia; (12) PT PLN”.
Bagaimanakah ragam profesi yang tak terbayangkan bahkan
oleh kaum kohor kelahiran 1950-an itu dapat digambarkan suasana ‘perasaan’nya ?
Ia erat dengan ‘sekolah ke luar negeri’, atau ‘fasih
berbahasa asing’, serta keakraban dengan perangkat komputasi. Buah teknologi,
dari telepon genggam sampai kamera, diterima dan digauli sebagai perangkat
netral yang seolah-olah lepas dari gelombang kritik teknokrasi di Eropa dan Amrik
yang sudah memuncak pada tahun 1968.
Dalam arus yang seolah-olah netral tak bergejolak itulah
film dan sandiwara menjadi ibarat paling gamblang tentang mimpi massal. Pemain
film (kalau sebelum 1998 dikenal dengan istilah ‘insan perfilman’. Wuih
…..insan ! ) adalah hal penting dalam jagad mimpi. Siapa bilang bintang film
berakting di depan kamera ? Justru di depan kamera itulah praktek hidup
kesehariannya terjadi. Sedangkan ketika berada di rumah, di jalan, atau di mall
si bintang itu sedang terus-menerus mencocokkan diri dengan yang dibayangkan
dalam arus massal tentang suatu jagad ideal seorang public figure. Sejak
dari menata tebal daging yang melekat di tulang-belulang tubuhnya sampai ke
tentang betapa pentingnya siraman nilai agama untuk kehidupan rohaninya, semua
dirancang dengan sepenuh perasaan. Keseriusan si bintang dalam mempersiapkan
diri untuk tampil dalam relasi sosial tak kalah keras dengan keseriusan
si pelajar kelas III SMU ber-IQ 146 di atas yang sampai bangun jam 3 pagi untuk
drilling agar bisa masuk ITB ! Dengan sepenuh perasaan entah itu drilling
agar menjadi orang ITB, ataukah agar bisa menjadi orang Telkom, orang
Freeport, atau dengan sekolah menyanyi di London untuk berkarier di dunia
bintang penyanyi, maupun berkarier di jalur teknologi informasi, desain
pakaian, sampai aktivis LSM dst. dilakukan. Rancangan hidup dibikin
dengan nalar perasaan. Bahkan kerja intelejensi pun tak lagi melulu berurusan
dengan intellegence qoutient (alias IQ) melainkan sudah dengan nalar
perasaan (yang sama sekali tak terbendung lagi dengan dikurung oleh label emotional
quotient ataupun spiritual quotient).
Dan panggung sandiwara?
Masih bisakah dibedakan lagi dengan gampang naskah-naskah
dan pementasan Teater Koma, Teater Gandrik, atau Teater Garasi dengan
gejolak hidup berpolitik yang terjadi sehari-hari di luar ruang panggung
sandiwara ? Politik menjadi panggung sandiwara, sementara sandiwara dilakoni
sebagai politik mempertaruhkan makna hidup.
Yang Bermimpi
Tak disangsikan lagi bahwa 1 lapis warga Republik
Indonesia dari kohor kelahiran paska 1965 telah beranak-pinak sebagai ‘keluarga
muda’. Anak-anak dari kalangan inilah yang lahir sejak dekade 1980-an
hingga 1 dasawarsa sesudahnya disapih selaku warga negeri mimpi dan sekaligus
dihimpit dalam putaran roda ekonomi yang digerakkan oleh ‘hukum siluman’.
Segenap imajinasi yang hidup dalam bawah sadar kolektifnya ketika menjadi bocah
seperti dipicu saat mereka masuk ke alam remaja.
Dekade 1990-an adalah masa puncak pembusukan seluruh
sendi bermasyarakat di Republik Indonesia. Segenap mimpi tentang ‘pemurnian
praktek dasar negara dan konstitusi’ maupun tentang fase ‘tinggal landas’ yang
diumbar sejak 20-an tahun sebelumnya menghadapi jalan buntu. Kolaps terjadi
pada bulan Mei 1998, dan tidak cukup kuat ada pertanda bahwa struktur
pembusukan di tingkat negara maupun bangsa itu menemukan titik terangnya,
hingga hari ini.
Paradoks paling fatal justru terjadi pada titik yang
paling dipicu habis-habisan di seantero kehidupan negeri yakni hasrat untuk
menjadi orang modern. Hasrat beginilah yang menjadi inti suatu ‘kultur kota’.
Menjadi modern dengan seluruh atribut identitasnya pada kurun antara 1970
hingga 30 tahunan sesudahnya berarti menemukan diri sendiri berada dalam
lingkungan yang penuh dengan impian akan rasa maju, bangga dengan kuantifikasi
numerik, laju pertumbuhan, prestasi.
Wujud paradoks itu terus terjadi hingga kini tanpa tanda
berhenti. Umpama, selalu diyakin-yakinkan betapa dengan banjir peralatan
komunikasi bernama telepon dan komputer maka kesenjangan informasi bakal sirna.
Namun yang terjadi justru banjir bandang perangkat komunikasi itu tak berkaitan
sama sekali dengan keberadaan informasi, karena jalur komunikasi secanggih
apapun malah menjadi ajang mengedarkan gossip. Manakala dimasukkan ke media
massa maka yang menggerakkan pun tetap hukum besi dunia industri. Informasi
dikalahkan oleh kalkulasi laba perolehan iklan.
Bersamaan dengan dikosongkannya informasi dari tubuh
masyarakat itu, terjadi kebiadaban tanpa darah melalui pelembagaan sekolah.
Jutaan anak sekolah di seluruh pelosok negeri seperti masuk ke dalam mesin cuci
raksasa untuk dibina kesadaran kolektifnya. Otonomi masyarakat setempat untuk
melakukan pendidikan diambil alih oleh tangan panjang birokrasi persekolahan.
Secara kognitif para pelajar itu dipenuhi hapalan-hapalan pengetahuan.
Sementara pada saat yang sama nalurinya untuk berimajinasi dipancung menjadi
paket-paket lomba dan kejuaraan.
Dua poros pengosongan makna inilah yang menyapih orang
muda yang benaknya kini penuh dengan mimpi untuk menjadi web-designer,
excecutive di MNC dan BUMN, artis film yang juga sekolah filsafat,…
Ruang hampa inilah yang tidak terjadi ketika
Tirtoadisuryo, Tjiptomangunkusumo, maupun Siti Soendari pada perempat pertama
abad 20 sebagai orang muda semasa menggerakkan masyarakat melalui badan-badan
ekonomi, dengan pendampingan legal, plus memproduksi informasi sendiri melalui
media semacam Medan Prijaji. Pada jaman bergerak itu simbol modernisasi
ditangkap dan dibalikkan untuk melakukan counter atas birokratisasi oleh
gubernemen Hindia Belanda.
Kuasa Mimpi
Pertama, tentang mimpi. Dan mimpi pun yang terjadi secara
massal.
Ia sungguh-sungguh menembus batas. Entah batas warna
kulit, entah berasal dari Jakarta Pusat atau Digul, entah kendaraannya saban
hari angkudes atau sedan pribadi, entah cowok, cewek, atau jiwa cowok dalam
tubuh cewek dan kebalikannya, ….. semua sekat itu diterabas. Semua
berpartisipasi dalam menyusun suatu mimpi besar. Berprestasi. Berkarier.
Menjadi juara, pemenang, yang terbaik, yang tercepat aksesnya, yang paling
praktis,…
Otak dan jiwa jadi sangat sibuk, sementara tubuh jarang
bergerak. Semakin aktif seseorang dalam dunia mimpi, semakin tubuhnya bergerak
lepas dari aktivitas batinnya. Acapkali terjadi imajinasi melesat lebih cepat
ketimbang gerak dengkul. Bahasa ungkapnya secara lisan menjadi kedodoran. Yang
diucapkan melalui bibir menjadi terpisah lepas dari yang mengalir deras dalam
batin orang. Bahkan kosakata yang tersedia dalam bahasa yang diresmikan oleh
pusat pembinaan bahasa pun menjadi tidak memadai lagi. Hiduplah plesetan
di Jogja, walikan dari Malang, bahasa prokem, slang, dan yang
dimediasi habis-habisan saban detik melalui televisi adalah bahasa Jakarta.
Hal kedua, bahkan untuk bermimpi pun butuh syarat.
Siapa saja yang berani bermimpi untuk masuk ke dalam
pusaran arus pasar tenaga kerja ‘terdidik’ tak bisa lain berhadapan dengan
tuntutan syarat. Dua syarat pokok masuk ke alam mimpi massal ini ialah akses
kembar ke jalur manipulasi peralatan
sektor jasa (ini namanya bisa sekolah, short-course, long
distance learning, on the job training, sampai ke kursus dari kursus
kepribadian sampai kursus bahasa) serta ke modal (bisa uang, bisa bakat bawaan,
maupun relasi sosial). Tanpa akses, kewarganegaraan dalam jagad mimpi jadi
cacat.
Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003
Anak Kota
Punya Gaya
Oleh Alia Swastika
Banyak orang
percaya bahwa anak muda identik dengan aktivitas untuk mencari kesenangan. Anak
muda selalu dikaitkan dengan waktu luang, kebebasan, dan semangat
pemberontakan. Media massa dan industri menciptakan “kebutuhan” anak muda demi
kepentingan pasar, yang dikampanyekan sebagai cara bagi anak-anak muda
untuk keluar dari identitas yang diinginkan oleh orang tua. Akhirnya budaya
anak muda sangat identik dengan penampilan sebagai representasi identitas.
Budaya anak muda adalah fesyen, musik dan pesta. Dan tentu, anak-anak muda di
kota adalah kelompok yang memiliki akses paling terbuka ke sumber informasi.
Mereka memungut informasi di mana saja, dari televisi, majalah, radio bahkan
sobekan poster di pinggir jalan. Mereka punya kesempatan untuk memanfaatkan
waktu luang di pusat-pusat perbelanjaan, tempat hiburan dan ruang-ruang publik
yang memungkinkan mereka untuk melakukan interaksi dan pertukaran informasi.
Anak muda di
kota, selalu punya cara untuk tampil beda. Meski tidak selalu orisinil, karena
banyak mengadopsi gaya selebritis yang mereka lihat di majalah dan televisi,
tapi anak kota selalu berusaha untuk terus memperbaharui penampilannya. Yang
disebut penampilan, bukan saja apa yang melekat pada tubuh semata, melainkan
juga bagaimana keseluruhan “potensi” dalam diri memungkinkan mereka untuk
menampilkan citra diri tertentu. Dan bahasa, dianggap salah satu hal penting
yang akan memberikan ciri khusus pada anak kota. Cara, logat dan pilihan kata
dalam berbicara, adalah salah satu dari usaha anak kota untuk membentuk citra
tertentu melalui penampilannya. Maka mereka punya istilah “norak” atau
“kampungan” untuk gaya-gaya tertentu, yang mereka anggap ingin tampak trendi,
namun tidak pantas (dalam bahasa mereka: nggak matching). Istilah ini
sekaligus menunjukkan bagaimana mereka memandang anak muda di wilayah bukan
kota (untuk tidak menyebutnya desa) sebagai kelompok yang “lebih rendah”
dibanding mereka.
Biyan, seorang
perancang muda menyatakan bahwa semangat kebebasan, sikap cuek alias tidak
terlalu peduli pada aturan formal, dan berani menjadi satu karakter khas yang
selalu ditampilkan dalam gaya fesyen anak muda. Gaya anak muda tidak lagi
mengacu pada perancang yang dulu legitimasinya sangat besar. Anak muda pasca
‘50-an dan ‘60-an masa-masa generasi baby boomers yang mulai menikmati
kemakmuran setelah berakhirnya resesi pasca perang dunia- menciptakan modenya
sendiri.
Kita bisa
menelusurinya dari bagaimana anak muda dicitrakan di media dari masa ke masa,
kemudian bagaimana citra itu merambah ke dalam kehidupan sehari-hari. Dan
menarik juga mencermati bagaimana media massa telah menciptakan satu ikon anak
muda tertentu pada tiap jaman.
* * *
Di Awal ‘80-an,
budaya remaja mulai marak di Indonesia setelah kemunculan tabloid dan majalah
khusus remaja, terutama Hai dan Gadis. Tak lama setelahnya,
sekitar pertengahan dekade, muncul tokoh Boy, melalui film “Catatan Si
Boy” garapan sutradara Nasri Cheppy. Tokoh Boy diperankan oleh Onky Alexander.
Boy digambarkan sebagai anak kota dari kelas atas yang kaya raya, tampan, dandi
(penampilannya rapi dan “berkelas”), jagoan (selalu menang kalau berkelahi
dengan “musuhnya”), playboy dan pintar. Saat itu, Onky
memperkenalkan gaya celana jeans, kaos oblong yang kemudian dibalut kemeja yang
tak dikancingkan. Rambutnya rapi, agak mengkilap (disebut gaya wet-look) karena
minyak rambut. Boy juga identik dengan mobil mewah berwarna cerah, serta kaca
mata hitam yang tak pernah ketinggalan saat ia ada di jalanan. Gaya Boy inilah
yang disebut dengan gaya ‘80-an ala Indonesia. Karakter tokoh ceweknya
tak jauh beda dengan Boy; populer, cantik, berdandan modis, cewek baik-baik dan
disukai banyak laki-laki. Mereka tampil dengan gaya ‘80-an yang kental dengan
warna-warna cerah semacam kuning, merah atau oranye, celana model baggy (paha
lebar dan menyempit di bagian bawah), memakai banyak aksesoris—kalung, gelang
dan anting yang dipakai bersamaan—kemeja longgar yang terkadang ujungnya diikat
serta sepatu olah raga yang santai. Pada saat itu, mulai dikenal juga kebiasaan
mengecat rambut menjadi berwana kemerahan atau sedikit pirang.
Dalam film ini,
anak kota masih bicara dengan bahasa Indonesia yang cukup formal, namun
terkesan cukup santai. Mereka menyebut diri dengan kata “saya” dan menggunakan
kata “kamu” untuk menyebut lawan bicaranya. Sebenarnya cara mereka bicara dalam
film tak terlalu berbeda dengan generasi yang lebih dewasa. Kalimat seperti
“Jadi, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” atau “Tunggu ya, nanti malam
saya akan jemput kamu!” menjadi dialog yang biasa, yang mungkin akan terasa
asing bila didengarkan oleh anak kota sekarang.
“Catatan si Boy”
juga memberi kita gambaran bagaimana anak kota menghabiskan waktu luang: clubbing
di tempat umum macam Ancol atau Blok M, atau membuat pesta dengan breakdance
di dalamnya.
* * *
Setelah Boy,
muncul tokoh Lupus di akhir ‘80-an dan awal ‘90-an. Tokoh ini adalah hasil
rekaan Hilman, yang muncul pertama kali sebagai serial di majalah Hai.
Lupus muncul sebagai tokoh yang sangat bertolak belakang dengan Boy. Kalau Boy
berdandan rapi, Lupus cenderung slenge’an. Rambutnya agak gondrong, dan
diberi ciri khas jambul, suka memakai celana jeans, kaos oblong dan kadang
kemeja tak dikancingkan, serta sepatu kets. Lupus juga tampak berseberangan
dengan Boy dari kelas sosial, ia “cuma” anak seorang pengusaha katering
kecil-kecilan yang hidup sederhana. Kalau Boy digambarkan dengan mobil mewah,
Lupus naik sepeda balap. Akhirnya Lupus muncul juga di layar lebar. Diperankan
oleh Ryan Hidayat, ditemani Nike Ardila sebagai Popi (pacarnya) dan Firda Razak
(sebagai Lulu, adiknya). Secara umum, gaya berpakaian Lupus dkk. dalam film ini
tak jauh beda dengan era si Boy. Juga tentang kebiasaan mereka dalam melewatkan
waktu luang.
Yang menarik adalah
mulai munculnya bahasa slang dan prokem dalam buku dan film-film Lupus.
Lupus juga sangat identik dengan remaja yang lucu dan konyol. Jadi jangan heran
kalau isi buku ini penuh dengan humor dan lelucon. Kata “gua” untuk menyebut
diri dan “elu” untuk lawan bicara mulai populer sebagai gaya baru di buku dan
film. Mereka juga mulai menggunakan dialog sehari-hari remaja semacam “Jangan
gitu dong!” atau “Lu jangan ke mana-mana, tunggu aja di sini, ntar gua balik
kok!”. Bahasa prokem anak muda juga dicomot dari kelompok-kelompok yang
dianggap terpinggir dan kampungan, misalnya dialog golongan homoseksual atau
dialog dari warga Betawi asli.
Seera dengan
Lupus, muncul tokoh Olga yang mewakili remaja perempuan di masa itu. Boleh
dibilang, ia versi cewek dari Lupus. Di sela-sela mereka, dalam masa yang sama,
anak kota punya panutan lain. Namanya si Roy. Ia memberi alternatif bagi remaja
pria, yang saat itu cenderung mengikuti gaya Boy atau Lupus. Roy, sangat
bertolakbelakang dengan keduanya. Ia memberi gambaran tentang kegagahan yang
lain dengan Boy, meskipun sama-sama digambarkan sebagai jagoan yang suka
berkelahi. Roy digambarkan sebagai pendaki yang suka memakai tas ransel besar
dan sepatu gunung. Baju flanel dan jaket tebal mulai dikenal saat itu.
* * *
Menjelang dan di
awal abad ke-21, representasi anak kota Indonesia muncul dalam film-film
independen. Kebanyakan film ini digarap oleh para sineas muda yang sangat
“melek” trend terbaru. Dian Sastro, yang muncul pertama kali di film “Bintang
Jatuh”, dan kemudian kembali melejit lewat “Ada Apa dengan Cinta”, jadi idola
baru remaja. Gang ceweknya di “Ada Apa dengan Cinta”, memberi gambaran tentang
gambaran mutakhir anak kota. Mereka berseragam putih abu-abu, dengan rok yang
cukup pendek, dan kaos kaki yang hampir mencapai batas lutut. Atasannya
menempel ketat di tubuh. Saat ini rambut panjang hitam lurus dan rambut pendek
yang tak beraturan jadi “tampilan wajib”.
Secara bahasa
era ini tak jauh beda dengan Lupus. Tapi makin banyak kata-kata dalam bahasa
prokem yang digunakan. Kebanyakan kata-kata ini digunakan sebagai ungkapan
kaget atau seruan. Misalnya, “Najong deh, gue!” yang berarti jijik, atau
“Garing!” untuk merespon lelucon yang dianggap tidak lucu. Atau juga “Bete!”
untuk menyebut keadaan yang tidak mengasikkan.
Harus diakui, bahasa anak Jakarta
lah yang selama ini mendominasi penggunaan bahasa lisan anak muda Indonesia.
Bagaimana bahasa prokem Jakarta tersebut tersebar? Jawabannya mudah. Ada media
massa—yang secara umum bisa dikatakan berpusat di Jakarta—yang membawa bahasa
lisan ini ke seluruh pelosok melalui perangkat-perangkatnya. Menurut Dede
Oetomo (1986) peran Jakarta sebagai ibukota, tempat orang-orang Indonesia yang
memang atau dianggap paling berkuasa, paling cantik, paling kaya dan sebagainya
berada, penting dalam menyebarkan bahasa Indonesia. Media dan
perangkatnya—terutama televisi dan radio—telah membuat logat Jakarta menjadi
logat yang seolah-olah paling keren dan paling enak didengar. Di
Indonesia, bukan hal yang aneh kalau kita mendengar radio-radio di daerah
(bukan Jakarta) yang segmennya anak muda, penyiar-penyiarnya berbicara dengan
dialek yang seragam. Seolah-olah, kalau tidak memakai gaya Jakarta, itu bukan
gaya anak muda.
Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003
Perempuan
dan Melodrama
Oleh
Alia Swastika
Kegemaran remaja-remaja perempuan menonton film-film
melodrama tentu saja bukan hal yang baru. Melodrama adalah salah satu hal yang
sering dikaitkan dengan perempuan. Sering kali pula, identifikasi film-film
melodrama dengan perempuan dilawankan dengan identifikasi film-film laga bagi
kaum laki-laki.
Menurut Partington (1991) satu aspek yang menonjol dari melodrama sebagai
sebuah film adalah maknanya yang terkait pada visualisasi drama melalui gaya,
desain dan penyajian emosi yang estetis. Dengan demikian melodrama dibuat
berdasarkan pengetahuan dan kompetensi yang dibangun secara spesisfik feminin
dan konsumtif, sehingga memberi ruang bagi perempuan untuk menggali dan
mengeksploitasi feminitas dengan cara-cara baru. Dengan memperhatikan
pertimbangan tersebut, maka dalam kasus Indonesia yang dapat dikategorikan
sebagai melodrama adalah sinetron atau telenovela, juga tentu saja, yang
sekarang mendapatkan penonton yang luas adalah, melodrama Asia.
Menurut Gledhill (1997), ketertarikan perempuan untuk
menonton melodrama sesungguhnya bukan hal yang sungguh-sungguh murni datang
dari pihak perempuan itu sendiri, melainkan dikonstruksi oleh pihak
pengelola media massa. Pada 1930-an, radio komersial dan perusahaan periklanan
Amerika mulai memproduksi program-program fiksi yang ditujukan untuk menjangkau
pasar perempuan yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Saat itu pihak pengelola
dua industri besar media massa tersebut mencari format alternatif yang
dirasakan lebih besar pengaruhnya terhadap khalayak dalam menerima pesan-pesan
iklan. Kemudian para pembuat film-film melodrama mencari referensi tentang
hal-hal yang disukai perempuan untuk ditampilkan dalam film tersebut. Ide untuk
membuat serial fiksi yang panjang (dengan ceritanya yang berliku) datang dari
majalah perempuan. Pada saat itu, banyak majalah perempuan sukses menyajikan
serial fiksi tentang kisah cinta dan kehidupan personal perempuan.
Sejak awal, film-film melodrama memang “dialamatkan”
untuk segmen khalayak tertentu. Jika merunut sejarah awal kemunculan yang
menyatakan bahwa para pembuat film melodrama mengalamatkan program ini bagi
perempuan, artinya pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatannya, yaitu
produser, penulis cerita, atau para pengiklan, memiliki bayangan tertentu
tentang citra perempuan. Bagaimana mereka menilai dan memandang perempuan ini
tentunya akan berpengaruh pada proses cerita dan citra dikonstruksi, caranya
“mengatakan” sesuatu, atau caranya menarik perhatian perempuan.
Ada banyak hal yang membuat perempuan tertarik untuk
menonton film melodrama. Dalam melodrama, cerita-cerita disajikan dalam
kerangka besar yang sama; tentang cinta dan persoalan keluarga, dengan plot
yang berliku-liku. Para tokoh dalam melodrama dianggap mewakili impian kaum
perempuanterutama para ibu rumah tangga karena mereka selalu ditampilkan
dalam keadaan cantik/tampan, dengan busana yang indah-indah, dalam rumah-rumah
yang megah. Artinya, ketertarikan perempuan terhadap melodrama disebabkan
karena konstruksi-konstruksi atas citra perempuan yang ditampilkan, yaitu
cantik, kaya dan hidup bahagia. Menurut Partington, dari melodrama ini para
penonton belajar bahwa kecantikan feminin bukanlah sesuatu yang melekat sejak
lahir, melainkan bisa diraih. Pada akhirnya, dengan konstruksi yang diciptakan
tersebut, perempuan justru menemukan ruang untuk melihat feminitas sebagai
sebentuk identitas yang terus berubah (shifting identity), bisa
dilekatkan dan dilepaskan kapan saja mereka menginginkannya. Perempuan, melalui
penampilan mewah melodrama juga mendapatkan kesempatan untuk merasakan
aktivitas dan kompetensi konsumsi yang eksklusif.
Kemudian, pada beberapa kasus, terlihat kecenderungan
bahwa ada efek melodrama yang ditampilkan secara berlebihan untuk lebih bisa
memancing emosi para penonton (misalnya adegan sadis dan kejam yang dilakukan
oleh ibu mertua kepada menantu perempuannya). Adegan-adegan ini ditampilkan
dengan asumsi bahwa perempuan—yang dilekatkan dengan stereotip emosional—suka
dengan adegan-adegan yang melankolis.
*
* *
Film melodrama kerap dituding menjual mimpi indah bagi
para perempuan melalui penampilan estetiknya tersebut. Namun tentang hal ini,
Geraghty (1991) mencatat bahwa sesungguhnya para perempuan menjadi dekat dengan
film melodrama karena mereka merasakan bahwa sementara mereka menyaksikan
adegan demi adegan, kisah yang terjadi di dunia yang hanya fiksi itu kemudian
dipararelkan dengan apa yang terjadi dalam hidup sehari-hari. Menurut Geraghty,
pada titik inilah film-film melodrama menjadi ‘dunia tetangga’ (neighbour
world), yang dekat dengan—namun tidak sungguh-sungguh menjadi bagian
dari—kehidupan.
Dalam konteks terbaru, analisa Geraghty itu tampaknya
bisa diterapkan untuk melihat fenomena ketertarikan remaja-remaja perempuan
atas Meteor Garden. Meteor Garden mampu menghadirkan dunia yang
terasa begitu dekat dengan hidup sehari-hari seorang remaja perempuan; dunia
kampus, interaksi dengan kelompok remaja laki-laki, persaingan mendapatkan
laki-laki pujaan, cinta yang bertepuk sebelah tangan dan hal-hal lain yang
menjadi bagian hidup sehari-hari. Dalam Meteor Garden, tokoh Sanchai
membagi pengalamannya kepada remaja perempuan tentang bagaimana rasanya menjadi
seorang remaja perempuan yang cantik tapi miskin, disukai oleh seorang yang
tampan dan kaya, tapi harus mengalami banyak masa-masa sulit dalam perjalanan
cintanya karena keadaan tersebut. Adegan-adegan yang ditampilkan dalam Meteor
Garden dengan dialog dan pengambilan gambar yang mengharukan mengundang para
remaja perempuan ini untuk ikut ambil bagian dalam situasi emosional yang
dialami Sanchai. Banyak di antara penonton yang terharu atau menangis saat
menyaksikan adegan tertentu.
*
* *
Dalam ilmu komunikasi maupun kajian budaya, keterkaitan
antara perempuan dan melodrama telah lama menjadi bahan kajian yang menarik.
Lebih dari sekedar menunjukkan bagaimana film melodrama telah menjadi pusat
perhatian perempuan, beberapa studi bahkan telah berhasil menjelaskan bagaimana
relasi antara perempuan dengan budaya populer (di mana film-film melodrama
masuk ke dalamnya), apakah itu termasuk dalam usaha kapitalisasi
perempuan—seperti yang sering dituduhkan—atau bisa menjadi alat bagi perempuan
untuk mengelola kembali identitas diri.
Beberapa studi yang dilakukan dalam relasi antara
perempuan dengan film melodrama ini berusaha untuk menjawab
pernyataan-pernyataan para feminis yang kerap menuding film melodrama sebagai
bentuk subordinasi perempuan. Apakah yang terjadi sesungguhnya ketika perempuan
mulai memasuki dunia melodrama? Apakah memang film melodrama telah memposisikan
perempuan sebagai bentuk subordinasi, ataukah justru ketika memasuki dunia yang
identik dengan budaya yang feminin tersebut perempuan justru dapat
diberdayakan?
Salah satu studi yang cukup terkenal adalah yang
dilakukan oleh Sonia Livingstone pada 1988 tentang opera sabun di Inggris. Pada
studi ini, Livingstone menggunakan pendekatan ‘penggunaan dan kepuasaan’ (uses
and gratifications) di mana ia menemukan bahwa kebanyakan responden yang
menonton serial opera sabun di stasiun televisi Inggris menggunakan aktivitas
tersebut sebagai salah satu bentuk eskapisme (pelarian) dari masalah hidup
sehari-hari.
Studi lain dilakukan oleh Ien Ang dalam terhadap para
penonton serial Dallas. Ien Ang memulai studinya dengan mempertanyakan
mengapa menonton serial Dallas menjadi sebuah pengalaman yang
menyenangkan. Hasilnya, Ien Ang menemukan bahwa kebanyakan penonton menganggap
Dallas sebagai sebuah pertunjukan ‘hiburan’ (entertainment).
Dari beberapa studi tersebut Glendhill menyimpulkan bahwa
sebagai bentuk tontonan yang dialamatkan pada perempuan, melodrama berkembang
menjadi sebentuk budaya populer yang memberikan ruang bagi representasi sebuah
wilayah pengalamandalam kehidupan personal dan emosional. Kemudian terjadi
proses negosiasi tentang bagaimana citra perempuan direpresentasikan dalam
melodrama. Jika masyarakat memberikan ruang yang lebih lapang bagi cara
pandang dan tokoh-tokoh perempuan, maka selanjutnya kekuatan atas dialog (yang
sangat dominan dalam melodrama) dapat menjadi salah satu alat bagi sosialisasi
kesetaraan gender.
* * *
Tapi sesungguhnya, kini kita mendapati kenyataan bahwa
menonton film melodrama tidak lagi eksklusif menjadi kebiasaan kaum perempuan.
Para lelaki tampaknya mulai menikmati pula sensasi-sensasi emosional dan
dramatis yang ditampilkan dalam sebuah tayangan melodrama. Misalnya saja, tidak
sedikit juga remaja laki-laki yang menonton serial Meteor Garden secara
teratur. Bahkan, remaja-remaja laki-laki juga banyak yang meniru potongan
rambut pemain Meteor Garden (yang memang berkembang menjadi dandanan
rambut baru di Asia).
Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003
Meteor Mimpi, Meteor Garden
Oleh Alia Swastika dan Yuli Andari
Dalam
kurun tiga tahun terakhir ini, dunia pertelevisian di Indonesia
berkembang sangat pesat. Bertambahnya jumlah stasiun televisi dari 5 menjadi 11
dalam waktu yang singkat menunjukkan keberadaan televisi sebagai salah satu
industri media massa
“favorit”. Kris Budiman (2002) mencatat bahwa jumlah jam siaran masing-masing
stasiun tersebut mencapai lebih dari 20 jam sehari. Artinya, dengan jumlah 11
stasiun televisi, ada sekitar 220 jam tayang program per sehari.
Dalam
banyak karya kajian budaya televisi dianggap telah menjadi media yang
memberikan kontribusi terbesar dalam proses produksi dan distribusi budaya
populer. Salah satu minat utama dalam kajian televisi adalah pada tayangan
drama. Drama adalah salah satu program televisi yang tak pernah habis
ditayangkan. Di hampir semua stasiun televisi, tayangan drama (apapun nama atau
bentuknya, mulai dari sinetron, opera sabun, telenovela, hingga melodrama)
selalu mendapat tempat di jam-jam tayang utama (prime time). Tayangan ini juga
menempati posisi yang tinggi dalam perhitungan rating program televisi.
Selain memberi suntikan iklan yang cukup besar bagi stasiun televisi, tayangan
drama juga menjadi sumber utama bagi beberapa media cetak, yang menyediakan
dirinya sebagai media 'resensi' drama televisi.
Di
Indonesia, tayangan drama awalnya dibanjiri produk impor, seperti telenovela
atau serial dari mancanegara. Ketika diputuskan bahwa rasio tayangan lokal dan
impor adalah 70:30 (70% produksi dalam negeri, 30% impor), maka sejak itulah
sinetron dalam negeri semakin banyak diproduksi (Kitley, 2001).
Saat
ini terdapat sekitar 80-an sinetron—termasuk telenovela dan melodrama Asia—yang sedang diputar di stasiun-stasiun televisi
swasta di Indonesia.
Yang menarik adalah bahwa 80% di antaranya selalu berujung-pangkal pada
persoalan cinta dan segenap romantismenya.
Masuknya
serial Meteor
Garden (MG),
sesungguhnya hanya menambah panjang daftar sinetron Asia
yang masuk ke Indonesia.
Sebelum MG disiarkan, sudah ada banyak sinetron Asia
yang ditayangkan stasiun televisi Indonesia. Di akhir '80-an, TVRI,
sebagai satu-satunya stasiun televisi yang ada, menayangkan serial Oshin.
Ia termasuk salah satu serial Asia yang
populer, digemari dan cukup sukses membawa kebudayaan Jepang ke Indonesia.
Setelah itu, menyusul serial Jepang lainnya, Rin.
Kemudian,
pada awal '90-an, RCTI—yang merupakan stasiun televisi swasta
pertama—meneruskan tradisi ini dengan menayangkan film atau serial yang
diimpor dari Hongkong dengan bintang-bintang seperti Andy Lau, Jackie Chan,
dsb. Kebanyakan dari film tersebut masuk dalam golongan film laga yang
bercerita tentang kehidupan mafia Triad atau Yakuza. Ada pula film-film jenis horor yang bahkan
hingga kini masih diputar.
Di
pertengahan '90-an, muncullah stasiun televisi Indosiar yang tampaknya
memberikan perhatian lebih pada tayangan Asia.
Di masa awal siarannya Indosiar telah menayangkan melodrama Jepang seperti Tokyo
Love Story, Long Vacation atau Ordinary People. Selanjutnya,
Indosiar juga menayangkan kisah-kisah silat yang biasanya telah dikenal dulu
tokohnya di Indonesia
lewat komik. Sebut saja serial Pendekar Rajawali Sakti (yang
mempopulerkan tokoh Yoko). Hingga awal 2000, kisah-kisah tentang para pendekar
inilah yang mendominasi tayangan Asia. Lalu,
tibalah Meteor
Garden (MG).
Kisah dalam MG berkisar pada percintaan remaja yang diangkat dari komik
Jepang Hana Yori Dango karya Yoko Kamio. Melodrama ini diproduksi dan dimainkan
oleh bintang-bintang Taiwan.
Meski baru diputar beberapa episode, rating MG mencapai 5,1 dan share-nya
29,9 artinya 5,1 persen dari total seluruh potensi penonton atau 29,9 dari
penonton yang sedang berada di depan televisi pada jam itu. Rating MG
terhitung bagus untuk waktu tayang weekday (Kompas, 2/6/02)
Demam
MG dengan cepat melanda remaja. Personel-personel F4 (grup vokal yang
menjadi aktor serial tersebut) menjadi pembicaraan utama penggemar serial ini.
Tabloid-tabloid hiburan mengisi rubriknya dengan kisah tentang anak-anak muda Taiwan ini.
Selanjutnya
tulisan ini akan mencoba menggambarkan secara bagaimana remaja memberikan
perhatian khusus pada serial ini dan menyikapinya dalam kehidupan sehari-hari.
Tulisan ini merupakan bentuk super-ringkas dari kajian yang kami lakukan atas
audiens MG.
*
* *
Kebanyakan
audiens yang kami teliti mengemukakan alasan yang hampir sama saat ditanya
mengapa menyukai MG, yaitu karena pemeran-pemeran cakep, keren, cool dan
enak dilihat. Mereka juga tertarik dengan tema dan alur cerita yang ringan,
mudah diikuti dan happy ending: “Ceritanya ringan dan mudah dicerna. Enak
dilihat dan nggak perlu mikir berat. Biasalah tentang percintaan remaja. Jadi
enak saja ngikutinnya”, “Ide cerita MG tidak jauh berbeda dengan sinetron
Indonesia
yang hanya ‘menjual mimpi’”, atau “Mirip Cinderella. Kita kan dari kecil sudah diberitahu tentang
Cinderella, happy ending. Mungkin ini yang membuat cewek-cewek suka”.
Tao
Ming Se adalah tokoh yang paling banyak disukai remaja perempuan: “Dia kaya,
badannya bagus, tinggi, tegap, “enak dipeluk”, tegas, berpinsip, setia dan
menolak free sex,” “Dia kontradiktif: kurang ajar dan care”, tapi ada
juga yang mengatakan, “Karakter seperti itu mungkin hanya ada dalam komik.
Tidak mungkin ada cowok yang kaya, cakep, setia, posesif, tempramental
sekaligus”. Sementara yang menyukai Hua Che Lei beralasan karena tokoh ini
bijaksana dan lembut. Dan yang menyukai Xi Men beralasan karena ia dewasa,
setia kawan, baik dan berkacamata.
Perlu
dicatat pula, bahwa sejak serial MG ini menjadi favorit,
kriteria-kriteria ketampanan yang selama ini dominan di kalangan remaja
perempuan menjadi bergeser. Wajah-wajah “oriental” ala Asia Timur, kini mulai
mendapatkan tempat, sama posisinya dengan anggota-anggota boyband yang “sangat
Barat”. Tampaknya remaja perempuan memproyeksikan impian mereka atas karakter
tertentu yang seharusnya dimiliki seorang lelaki melalui tokoh-tokoh yang ada,
baik secara fisik maupun perilakunya.
*
* *
MESKI
MG masih ditayangkan di Indosiar, semua audiens dalam penelitian ini
telah menonton seluruh episode MG dalam bentuk CD (19 episode). Menunggu
tak betah menunggu seminggu untuk mengetahui kelanjutan ceritanya.
Kami
mencatat dan mengamati suasana, komentar, dan celetukan-celetukan selama nonton
bareng MG di beberapa tempat (baik di kos-kosan maupun selama diskusi
kelompok terfokus). Kebanyakan komentar muncul ketika adegan romantis, sedih,
lucu dan ketika tokoh-tokohnya tampil close up. Komentar-komentar “ih, cakep
banget”, “Keren, ya”, “Wah romatisnya”, “Dasar Bodoh” muncul silih berganti.
Selain itu ada juga yang mengikuti Ni Yo Te Ai (lagu tema MG)
oleh Penny Tai atau Qing Fei Te Yi oleh Harlem Yu. Mereka juga
berdiskusi apa yang seharusnya dilakukan tokoh-tokoh dalam MG ketika
menghadapi masalah tertentu. Ketika kami membandingkannya dengan kelompok
remaja laki-laki yang juga menonton MG, komentar-komentar seperti itu
tidak banyak muncul. Kebanyakan remaja laki-laki hanya tertawa saat ada adegan
yang lucu, atau mengomentari jalan cerita yang terlalu dibuat-buat.
*
* *
Dari
kajian audiens MG ini, kami melihat bahwa remaja-remaja perempuan
mendapatkan kesempatan untuk mengindentifikasi apa yang mereka alami dalam
kehidupan sehari-hari dengan kisah dalam serial itu. Menurut mereka, apa yang
dialami Sanchai, dalam relasinya dengan Tao Ming Se, adalah hal yang akrab
dengan remaja perempuan. Sesekali dalam aktivitas menonton itu, mereka
berkomentar, “Tuh kan,
semua cowok memang begitu! Mau enaknya aja”. Rupanya ada pengalaman personal
yang membuat remaja-remaja perempuan bisa menumpahkan kekesalan pada laki-laki
melalui aktivitas menonton film.
Kami
juga melihat bahwa aktivitas menonton saja belumlah cukup. Mereka juga berusaha
menggali lebih jauh informasi yang rinci tentang MG karena informasi ini
membantu mereka untuk bisa berada dalam ruang pembicaraan yang sama dengan
teman-temannya. Dalam 'girl talk' (pembicaraan remaja perempuan), tema-tema
yang sifatnya intim dan personal (termasuk aktivitas curhat dan gosip tentang
selebritis) menjadi sesuatu yang khas. Dalam aktivitas ini, remaja-remaja
perempuan bertukar informasi tentang berita-berita terbaru yang didapatkan
tentang tokoh tertentu dalam siaran favorit mereka lalu mengidentifikasikannya
dengan kisah yang mereka alami sehari-hari. Bagi remaja perempuan aktivitas
'dalam kamar' ini mendatangkan kesenangan tertentu, yang bisa jadi kadarnya
sama dengan kesenangan yang dilakukan remaja laki-laki saat nongkrong di
pinggir jalan atau menonton konser musik underground. Mereka menemukan
romantisme ideal dalam hubungan cinta dalam film ini, sesuatu yang sulit mereka
temukan dalam kehidupan sehari-hari.
Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003
Kami
Tak Berhenti Begadang
Oleh
Faruk HT
Bisakah
dangdut menjadi musik bergengsi, apalagi penjaga gawang moralitas? Bisa iya,
bisa tidak. Semuanya tergantung pada apa yang dimaksud gengsi, apa pula yang
dimaksud moralitas itu. Semuanya juga tergantung siapa yang memberi makna
terhadapnya.
Dangdut
adalah musik yang digemari oleh kelompok masyarakat marginal atau yang termarginalkan,
baik secara ekonomis maupun secara geografis. Dari segi ekonomis, dangdut
merupakan musik yang digemari oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi yang
rendah, misalnya para buruh di perkotaan. Dari segi geografis, ia merupakan
musik yang hidup dan dihidupi oleh kelompok masyarakat yang ada di pinggiran,
baik pinggiran kota, pedesaan Jawa, pesisir, ataupun luar Jawa yang menjadi
pusat kekuasaan ekonomi, politik, dan bahkan kultural masyarakat Indonesia.
Ketika
saya masih kecil, duduk di sekolah dasar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, di akhir
1960-an, seingat saya apa yang disebut musik dangdut belum ada. Yang ada adalah
musik Melayu. Di daerah asal saya itu musik Melayu ini hidup dan tersebar
melalui pertunjukan-pertunjukan keliling yang dikenal dengan rombongan Orkes
Melayu. Repertoirnya sebagian besar diambil dari lagu-lagu Melayu Deli dan Malaysia
akhir-akhir ini mulai muncul lagi, misalnya “Bunga Nirwana” dan “Sabda
Pujangga”.
Karena
saya masih kecil waktu itu, musik Melayu saya rasakan sebagai musik orang-orang
tua atau setengah tua (paman saya seorang penyanyi yang tergabung dalam sebuah
Orkes Melayu). Musik anak muda adalah musik pop yang diledakkan oleh antara
lain Koes Plus dan kemudian disusul oleh The Mercy's, Pambers, dsb., dan selanjutnya
kelompok-kelompok musik yang membawakan musik rock: Giant Step atau Godbless
dengan Achmad Albarnya, AKA dengan Ucok Harahapnya, dan Rollies dengan Gitonya.
Musik
Melayu dapat dikatakan tenggelam waktu itu. Baru pada awal ‘70-an, dengan
kemunculan Rhoma Irama yang mengkombinasikan musik Melayu dengan musik pop dan
rock, musik Melayu mulai memperoleh penggemar di kalangan anak muda. Namun,
namanya segera berubah dari musik Melayu menjadi musik dangdut, meskipun jejak
Melayunya tidak sepenuhnya hilang, baik dari segi iramanya, temanya, maupun
penampilannya. Kelompok Rhoma Irama sendiri, waktu itu, menamakan dirinya masih
sebagai orkes Melayu, yaitu Orkes Melayu Sonata.
Tapi,
kehadiran Rhoma sama sekali tidak membuat musik dangdut menjadi terangkat ke
lapisan atas masyarakat. Yang berhasil dilakukannya lebih merupakan
revitalisasi dan reaktualisasi musik masa lalu itu ke masa kini. Tapi, dengan
hidup kembalinya musik Melayu, ia justru kemudian menegaskan stratifikasi
sosial yang menajam di dalam masyarakat sebagai akibat perkembangan teknologi
informasi dan ekonomi Orde Baru. Kalau sebelumnya masyarakat lapisan bawah yang
terbentuk sebagai akibat kebijakan ekonomi dan informasi Orde Baru seakan tidak
mempunyai “corong”, sarana kultural dan musikal untuk aktualisasi dan
identifikasi diri, dengan Rhoma Irama, mereka memperoleh hal tersebut. Dengan
demikian, jasa besar Rhoma terletak bukan pada mengangkat musik dangdut ke
strata sosial yang lebih tinggi, melainkan menghidupkan dan mereaktualisasikan
musik Melayu dan memberikan sarana ekspresi dan identifikasi diri pada
masyarakat lapisan bawah.
*
* *
Yang
ingin saya katakan adalah bahwa dangdut adalah lagu masyarakat lapisan bawah
dan tidak akan pernah serta bahkan sebaiknya tidak menjadi lagu lapisan atas
masyarakat, lagu kelompok elite. Memang, seperti halnya Sri Mulat, lagu dangdut
mulai mendapat ruang yang semakin luas dan bahkan terluas di televisi, sesuatu
yang sebelumnya menjadi wilayah musik pop atau musik masyarakat dari lapisan
yang lebih tinggi. Namun, kecenderungan itu lebih disebabkan oleh perkembangan
daya beli masyarakat lapisan bawah itu sendiri bersama dengan perkembangan
teknologi media massa
yang menayangkannya. Ia dapat dipastikan sama sekali bukan akibat dari
perkembangan cara penyajiannya, termasuk substansi musikal dan liriknya.
Perkembangan
teknologi informasi telah memungkinkan dihasilkannya produk-produk rekaman
musik yang semakin murah dalam jumlah yang semakin besar dan dengan tingkat
penyebaran yang semakin cepat dan luas dan karenanya semakin terjangkau oleh
masyarakat lapisan bawah. Dengan perkembangan ini masyarakat lapisan bawah itu
menjadi pangsa pasar media dan iklan yang sangat besar pula. Iklan sendiri
berhubungan dengan perkembangan industri di Indonesia. Semakin banyak dan
beraneka komoditas yang ditujukan pada masyarakat lapisan bawah, semakin besar
kepentingan industri untuk menjangkau masyarakat tersebut melalui media massa, terutama televisi.
Dalam hubungan dengan iklan ini dapat pula dibuktikan bahwa betapa besar pun
ruang yang tersedia di televisi untuk dangdut, ia tetap dipahami sebagai musik
masyarakat lapisan bawah dan ditujukan pada masyarakat lapisan tersebut.
Iklan-iklan untuk musik dangdut adalah iklan-iklan bagi produk-produk yang
menjadi konsumsi khas masyarakat lapisan itu, misalnya obat kuat yang sangat
penting bagi buruh yang telah bekerja keras secara fisik, obat kemampuan seks,
obat sakit kepala atau penghilang penghilang rasa sakit lainnya, dan
sejenisnya. Tidak akan ada iklan mobil mewah atau pakaian dan kosmetika mahal
dipasang untuk menjadi sponsor musik dangdut.
Ike
Nurjanah dan Iis Dahlia mungkin dua di antara sedikit penyanyi dangdut yang
tampil berbeda, yang mengutamakan keindahan dan keanggunan daripada kekuatan
dan seks, dalam menyanyi dangdut. Tapi, hal itu tidak akan dapat mengubah musik
dangdut menjadi musik elitis. Keanggunan dan keindahan mereka sebenarnya sama
saja dengan ungkapan perasaan yang halus yang muncul di banyak lagu dangdut.
Tapi, kehalusan ungkapan perasaan dalam lirik itu tidak pernah menghapuskan
irama dangdut sendiri, yaitu irama yang mengajak bergoyang ala film India: goyang
yang berpusat di pinggul dan pinggang serta dada. Dangdut bukan musik yang
mengajak orang berkontemplasi secara spiritual, melainkan mengajak orang bergerak
dan bertindak secara fisik sebagaimana kehidupan sehari-hari masyarakat lapisan
bawah.
Banyak
pujian yang diberikan kepada Elvi Sukaesih dalam hal ketepatannya menyesuaikan
gerak dengan irama dan tema lirik musik. Namun, sewaktu di kampung saya mulai ada
televisi, TVRI waktu itu, ibu saya pernah jengkel sekali kepada Bapak saya
karena ia memelototi Elvie Sukaesih di layar televisi. Tidak ada persoalan
keselarasan irama atau apa pun namanya bagi penonton ketika mereka menonton
atau mendengarkan musik dangdut. Yang ada adalah citra tubuh yang menonjol,
citra kekuatan fisik dan seksual. Karena, pada hal itulah kehidupan masyarakat
bawah bersandar.
Rhoma
Irama dikenal sebagai penyanyi dan pengarang lagu dangdut yang berhasil
menyisipkan pesan-pesan moral dalam lagunya. Apakah hal itu berarti dapat
mengangkat musik dangdut keluar dari “comberan”? Tidak juga. Pertama, musik
dengan ajaran moralitas yang eksplisit merupakan musik yang khas masyarakat
lapisan bawah, bukan masyarakat lapisan atas yang cenderung abstrak,
kosmopolit, dengan pandangan mengenai moralitas yang kompleks dan ambigu, dan
dengan penanaman kemampuan intelektual yang tinggi dan kehalusan perasaan.
Karena itu, penempatan ajaran moral yang eksplisit seperti yang dilakukan Rhoma
Irama hanya menegaskan bahwa dangdut memang musik lapisan bawah masyarakat,
musik yang ia sebut sebagai “comberan”.
Kedua,
masyarakat lapisan bawah punya cara dan kepentingan sendiri dalam menikmati dan
menghayati musik dangdut, antara lain dengan menempatkannya sebagai alat
identifikasi dan ekspresi diri. Sebagai kelompok masyarakat yang hidup dalam
sistem stratifikasi sosial dan ekonomi yang sangat tajam dan menajam, menjadi
tidak masuk akal bagi mereka untuk dapat merasa bersatu dengan kelompok sosial
ekonomi yang ada di lapisan atas, yang ada di atas “comberan”. Dalam sistem
stratifikasi yang demikian, yang bisa mereka lakukan adalah bagaimana bisa
hidup betah di comberan saja, bukan melakukan hal yang mustahil dengan keluar
dari comberan itu. Salah satunya, dengan membalikkan makna comberan itu menjadi
sesuatu yang lebih berharga.
Pada
waktu saya remaja, salah satu lagu yang kami gemari dan nyaris menjadi lagu
wajib adalah “Begadang”. Meskipun lagu itu mengajarkan agar orang jangan
begadang kalau tidak perlu, jangan begadang karena hal itu dapat merusak badan,
kami tidak pernah tergelitik untuk berhenti begadang atau hanya begadang kalau
ada perlunya. Saya pribadi, sebagai bagian dari masyarakat penggemar dangdut,
merasakan bahwa justru dengan tetap begadang tanpa ada perlunya kami menegaskan
identitas kami, menjadi bangga pada diri kami. Lagu itu, dengan demikian, kami
gemari bukan sebagai petuah yang harus diikuti, melainkan petuah yang harus
dilanggar. Adanya petuah itu, bagi kami, hanya menegaskan bahwa jalan kami
memang lain dari mereka yang “begadang kalau ada perlunya”.
Justru
dengan tetap berada di “comberan”, kami merasa bahwa kami lain dari mereka,
dan bahkan kami mampu dan berani hidup dalam lingkungan yang mereka justru
tidak bisa dan tidak berani melakukannya. “Comberan” sama sekali bukan hal
yang menjijikkan dan hina bagi kami, melainkan sesuatu yang membanggakan.
Begitupun dangdut dengan goyangnya, dengan citra kekuatan fisik dan seksnya.
Bukankah banyak kelompok elit, kaum eksekutif dan kaya, yang kabarnya impotent?
Bagi masyarakat lapisan bawah, kekuatan fisik dan seks, merupakan sesuatu yang
membanggakan karena hanya itulah yang mereka miliki. Kalau hal itu dihilangkan
dari dangdut, dangdut ditarik keluar dari comberan, masyarakat lapisan bawah
tidak hanya kehilangan musik, tapi juga kehilangan identitas dan sekaligus
eksistensi serta kebanggaan mereka.
Bersatulah
penggemar dangdut Indonesia.
Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003
#semoga bermanfaat